Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat
Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya pada saat ini kita dapat
memperingati hari Mulud Nabi Muhammad SAW dalam suasana cerah, sehat walafiat
tak kurang sesuatu apapun.
Semoga salam dan rahmat senantiasa terlimpah kepada
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari
zaman kegelapan ke zaman terang benderang yaitu dengan tegaknya agama islam.
Hadirin sekalian yang berbahagia !
Peringatan Maulud Nabi yang biasanya diselenggarakan secara
meluas di seluruh Tanah Air kita hendaknya tidak sekedar merupakan kegiatan
upaccara yang bersifat lahiriah saja, tetapi lebih dari itu hendaknya agar
benar-benar merupakan kesempatan yang baik untuk merenungkan kembali dan
meresapi secara mendalam arti dan makna dari lahirnya seorang Nabi dan Rasul
terakhir yang membawa petunjuk dari Allah Yang Maha Agung yang memberikan suri
Tauladan bagi seluruh umat manusia.
Hadirin sekalian yang berbahagia !
Pada hakikatnya, mempercayai kebenaran wahyu yang telah
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan mengikuti suri tauladan yang telah diberikan
olehnya adalah merupakan inti daripada Peringatan Maulud Nabi.
Dalam hal ini
Allah telah berfirman dalam Surat Al-Ahzab : 21 :
Artinya :
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.
Disamping itu
Allah menegaskan lagi dengan firmannya Surat Ali Imran ayat 31 :
Artinya :
Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Dengan
memperhatikan arti dan makna ayat-ayat tersebut diatas maka jelaslah bahwa
Peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW ini, juga merupakan kesempatan untuk mawas
diri sampai dimana kesanggupan kita dalam mengikuti bimbingan dan suri tauladan
yang telah diberikan oleh Nabi kita Muhammad SAW.
Hadirin
sekalian yang berbahagia !
Dalam kesempatan
yang berbahagia ini ada beberapa hal yang perlu kita renungkan bersama dalam
rangka memetik suri tauladan yang telah dicontohkan dalam peri hidup dan
kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Dalam kehidupan
berbangsa sebagai bangsa yang kini tengah membangun untuk menciptakan suatu
hari depan yang lebih baik, banyak suri tauladan yang kita petik dari
perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW baik sejak beliau masih muda maupun setelah
diangkat sebagai Nabi, yaitu antara lain tauladan tentang gaya hidup
sehari-hari.
Kebahagiaan dan
kenikmatan hidup yang dirasakan oleh Nabi Muhammad SAW, bukanlah terletak pada
kelezatan dan kemegahan hidup lahiriah, melainkan kebahagiaan dan kenikmatan
yang ditemukan dalam kesederhanaan. Tuntutan hidup sederhana yang
didukung oleh kepribadian yang teguh, budi pekerti yang luhur serta tingkah
laku yang penuh kasih sayang dan lemah lembut merupakan mahkota keindahan yang
menghiasi kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Dengan
memperhatikan berbagai riwayat kehidupan Nabi yang menggambarkan bagaimana gaya
hidup dan pergaulan beliau dengan orang-orang disekitarnya, maka kesemuanya
mencerminkan tingkah laku kesopanan dan kesederhanaan hidup.
Demikian apa yang
dapat saya sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Akhirnya Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
“
Tentang Maulid Nabi Muhammad SAW” ketegori Muslim. Assalaamu alaikum
wr. wb.
Pak ustadz, saya mau bertanya seputar tentang Maulid Nabi Muhammad SAW yang
setiap tanggal 12 Rabiul Awwal selalu diperingati oleh banyak ummat Islam di
Indonesia. Dan juga bagaimana hukumnya? Terima kasih atas jawabanya.
Wassalaamu ‘alaikum wr. wb.
Maksum
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wrahmatullahi wabarakatuh,
Fakta yang sesungguhnya dari kehidupan Rasulullah SAW menegaskan bahwa tidak
ada riwayat yang menyebutkan beliau pada tiap ulang tahun kelahirannya
melakukan ritual tertentu. Bahkan para shahabat beliau pun tidak pernah kita
baca dalam sejarah pernah mengadakan ihtifal secara khusus setiap tahun untuk
mewujudkan kegembiraan karena memperingati kelahiran Nabi SAW.
Bahkan upacara secara khusus untuk merayakan ritual maulid nabi SAW juga
tidak pernah kita dari generasi tabi’in hingga generasi salaf selanjutnya.
Perayaan seperti ini secara fakta memang tidak pernah diajarkan, tidak pernah
dicontohkan dan juga tidak pernah dianjurkan oleh Rasulullah SAW, para shahabat
bahkan para ulama salaf di masa selanjutnya.
Perayaan maulid nabi SAW secara
khusus baru dilakukan di kemudian hari. Dan ada banyak versi tentang siapa yang
memulai tradisi ini. Sebagian mengatakan bahwa konon Shalahuddin Al-Ayyubi yang
mula-mula melakukannya, sebagai reaksi atas perayaan natal umat Nasrani. Karena
saat itu di Palestina, umat Islam dan Nasrani hidup berdampingan. Sehingga
terjadi interaksi yang majemuk dan melahirkan berbagai pengaruh satu sama lain.
Versi lain menyatakan bahwa
perayaan maulid ini dimulai pada masa dinasti Daulah Fatimiyyah di Mesir pada
akhir abad keempat hijriyah. Hal itu seperti yang ditulis pada kitab Al-A’yad
wa atsaruha alal Muslimin oleh Dr. Sulaiman bin Salim As-Suhaimi hal. 285-287.
Disebutkan bahwa para khalifah Bani Fatimiyyah mengadakan perayaan-perayaan
setiap tahunnya, di antaranya adalah perayaan tahun baru, asyura, maulid Nabi
sAW bahwa termasuk maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husein serta
maulid Fatimah dll. .
Versi lainnya lagi menyebutkan
bahwa perayaan maulid dimulai tahun 604 H oleh Malik Mudaffar Abu Sa’id
Kukburi.
Hukum Merayakan Maulid Nabi SAW
Mereka yang sekarang ini banyak merayakan maulid nabi SAW seringkali
mengemukakan dalil. Di antaranya:
1. Mereka berargumentasi dengan
apa yang ditulis oleh Imam As-Suyuti di dalam kitab beliau, Hawi li al-Fatawa
Syaikhul Islam tentang maulid serta Ibn Hajar Al-Asqalani ketika ditanya
mengenai perbuatan menyambut kelahiran nabi SAW. Beliau telah memberi jawaban
secara bertulis:
Adapun perbuatan menyambut maulid
merupakan bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para salafush-shaleh pada
300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan itu penuh dengan kebaikan dan
perkara-perkara yang terpuji, meski tidak jarang dicacat oleh
perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya.
Jika sambutan maulid itu
terpelihara dari perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tergolong dalam
perbuatan bid’ah hasanah. Akan tetapi jika sambutan tersebut terselip
perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tidak tergolong di dalam bida’ah
hasanah.
2. Selain pendapat di atas,
mereka juga berargumentasi dengan dalil hadits yang menceritakan bahwa siksaan
Abu Lahab di neraka setiap hari Senin diringankan. Hal itu karena Abu Lahab
ikut bergembira ketika mendengar kelahiran keponakannya, Nabi Muhammad SAW.
Meski dia sediri tidak pernah mau mengakuinya sebagai Nabi. Bahkan ekspresi
kegembiraannya diimplementasikan dengan cara membebaskan budaknya, Tsuwaibah,
yang saat itu memberi kabar kelahiran Nabi SAW.
Perkara ini dinyatakan dalam
sahih Bukhari dalam kitab Nikah. Bahkan Ibnu Katsir juga membicarakannya dalam
kitabnya Siratunnabi jilid 1halaman 124.
Syamsuddin Muhammad bin
Nasiruddin Ad-Dimasyqi menulis dalam kitabnya Mawrid as-sadi fi Mawlid al-Hadi
: Jika seorang kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan kekal di
dalamnya diringankan siksa kuburnya tiap Senin, apalagi dengan hamba Allah yang
seluruh hidupnya bergembira dan bersyukur dengan kehadiran Ahmad dan meninggal
dengan menyebut Ahad ?
3. Hujjah lainnya yang juga
diajukan oleh para pendukung maulid Nabi SAW adalah apa yang mereka katakan
sebagai pujian dari Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani.
Menurut mereka, Ibnu Hajar telah
menulis di dalam kitabnya, ‘Al-Durar al-Kamina fi ‘ayn al-Mi’at al-thamina’
bahwa Ibnu Kathir telah menulis sebuah kitab yang bertajuk maulid Nabi di
penghujung hidupnya, Malam kelahiran NabiSAW merupakan malam yang mulia, utama,
dan malam yang diberkahi, malam yang suci, malam yang menggembirakan bagi kaum
mukmin, malam yang bercahaya-cahaya, terang benderang dan bersinar-sinar dan
malam yang tidak ternilai.
4. Para pendukung maulid nabi SAW
juga melandaskan pendapat mereka di atas hadits bahwa motivasi Rasulullah SAW
berpuasa hari Senin karena itu adalah hari kelahirannya. Selain karena hari itu
merupakan hari dinaikkannya laporan amal manusia.
Abu Qatadah Al-Ansari
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika ditanya mengapa beliau berpuasa pada
hari Senin, menjawab, Itulah hari aku dilahirkan dan itulah juga hari aku
diangkat menjadi Rasul.
Hadits ini bisa kita dapat di
dalam Sahih Muslim, kitab as-siyam
Pendapat yang Menentang
Namun argumentasi ini dianggap
belum bisa dijadikan landasan dasar pensyariatan seremoni maulid nabi SAW.
Misalnya cerita tentang diringankannya siksa Abu Lahab itu, mereka
mengatakan bahwa Abu Lahab yang diringankan siksanya itu pun hanya sekali saja
bergembiranya, yaitu saat kelahiran.
Dia tidak setiap tahun merayakan kelahiran nabi dengan berbagai ragam
seremoni. Kalau pun kegembiraan Abu Lahab itu melahirkan keringanan siksanya di
neraka tiap hari Senin, bukan berarti orang yang tiap tahun merayakan lahirnya
nabi SAW akan mendapatkan keringanan siksa.
Demikian juga dengan pujian dari
Ibnu Katsir, sama sekali tidak bisa dijadiakan landasan perintah untuk
melakukan sermonial khusus di hari itu. Sebab Ibnu Katsir hanya memuji malam
hari di mana Nabi SAW lahir, namun tidak sampai memerintahkan penyelenggaraan
seremonial.
Demikian juga dengan alasan bahwa
Rasulullah SAW berpuasa di hari Senin, karena hari itu merupakan hari
kelahirannya. Hujjah ini tidak bisa dipakai, karena yang saat dilakukan bukan
berpuasa, tapi melakukan berbagai macam aktifitas setahun sekali. Kalau pun mau
berittiba’ pada hadits itu, seharusnya umat Islam memperbanyak puasa sunnah hari
Senin, bukan menyelenggarakan seremoni maulid setahun sekali.
Bahkan mereka yang menentang
perayaan maulid nabi ini mengaitkannya dengan kebiasaan dari agama sebelum
Islam. Di mana umat Yahudi, Nasrani dan agama syirik lainnya punya kebiasaan
ini. Buat kalangan mereka, kebiasaan agama lain itu haram hukumnya untuk
diikuti. Sebaliknya harus dijauhi. Apalagi Rasulullah SAW tidak pernah
menganjurkannya atau mencontohkannya.
Dahulu para penguasa Mesir dan
orang-orang Yunani mengadakan perayaan untuk tuhan-tuhan mereka. Lalu
perayaan-perayaan ini di warisi oleh orang-orang Kristen, di antara
perayaan-perayaan yang penting bagi mereka adalah perayaan hari kelahiran Isa
al-Masih, mereka menjadikannya hari raya dan hari libur serta bersenang-senang.
Mereka menyalakan lilin-lilin, membuat makanan-makanan khusus serta mengadakan
hal-hal yang diharamkan.
Dan akhirnya, para penentang
maulid mengatakan bahwa semua bentuk perayaan maulid nabi yang ada sekarang ini
adalah bid’ah yang sesat. Sehingga haram hukumnya bagi umat Islam untuk
menyelenggarakannya atau ikut mensukseskannya.
Jawaban dari Pendukung Maulid
Tentu saja para pendukung maulid
nabi SAW tidak rela begitu saja dituduh sebagai pelaku bid’ah. Sebab dalam
pandanga mereka, yang namanya bid’ah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah
saja, bukan dalam masalah sosial kemasyarakatan atau masalah muamalah.
Adapun seremonial maulid itu oleh
para pendukungnya diletakkan di luar ritual ibadah formal. Sehingga tdak bisa
diukur dengan ukuran bid’ah. Kedudukannya sama dengan seorang yang menulis buku
tentang kisah nabi SAW. Padahal di masa Rasulullah SAW, tidak ada perintah atau
anjuran untuk membukukan sejarah kehidupan beliau. Bahkan hingga masa salah
berikutnya, belum pernah ada buku yang khusus ditulis tentang kehidupan beliau.
Lalu kalau sekarang ini umat
Islam memiliki koleksi buku sirah nabawiyah, apakah hal itu mau dikatakan
sebaga bid’ah? Tentu tidak, karena buku itu hanyalah sarana, bukan bagian dari
ritual ibadah. Dankeberadaan buku-buku itu justru akan membuat umat Islam
semakin mengenal sosok beliau. Bahkan seharusnya umat Islam lebih banyak lagi
menulis dan mengkaji buku-buku itu.
Dalam logika berpikir pendukung
maulid, kira-kira seremonial maulid itu didudukkan pada posisi seperti buku.
Bedanya, sejarah nabi SAW tidak ditulis, melainkan dibacakan, dipelajari,
bahkan disampaikan dalam bentuk seni syair tingkat tinggi. Sehingga bukan
melulu untuk konsumsi otak, tetapi juga menjadi konsumsi hati dan batin. Karena
kisah nabi disampaikan dalam bentuk syair yang indah.
Dan semua itu bukan termasuk
wilayah ibadah formal melainkan bidang muamalah. Di mana hukum yang berlaku
bahwa segala sesuatu asalnya boleh, kecuali bila ada dalil yang secara langsung
melarangnya secara eksplisit.
Kesimpulan
Sebagai bagian dari umat Islam,
barangkali kita ada di salah satu pihak dari dua pendapat yang berbeda. Kalau
pun kita mendukung salah satunya, tentu saja bukan pada tempatnya untuk
menjadikan perbedaan pandangan ini sebagai bahan baku saling menjelekkan,
saling tuding, saling caci dan saling menghujat.
Perbedaan pandangan tentang hukum
merayakan maulid nabi SAW, suka atau tidak suka, memang telah kita warisi dari
zaman dulu. Para pendahulu kita sudah berbeda pendapat sejak masa yang panjang.
Sehingga bukan masanya lagi buat kita untuk meninggalkan banyak kewajiban hanya
lantaran masih saja meributkan peninggalan perbedaan pendapat di masa lalu.
Sementara di masa sekarang ini,
sebagai umat Islam, kita justru sedang berada di depat mulut harimau sekaligus
buaya. Kita sedang menjadi sasaran kebuasan binatang pemakan bangkai. Bukanlah
waktu yang tepat bila kita saling bertarung dengan sesamasaudara kitasendiri,
hanya lantaran masalah ini.
Sebaliknya, kita justru harus
saling membela, menguatkan, membantu dan mengisi kekurangan masing-masing.
Perbedaan pandangan sudah pasti ada dan tidak akan pernah ada habisnya. Kalau
kita terjebak untuk terus bertikai, maka para pemangsa itu akan semakin
gembira.
Wallahu a’lam bishshawab,
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber
Tentang Maulid Nabi Muhammad SAW :
Hikmah Maulid Nabi Besar Muhammad SAW
Hari ini Ahad 4 Februari 2012 bertepatan dengan 12 Rabiul
Awal 1433 H adalah Hari Kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. yang
lazim disebut Maulid Nabi Besar Muhammad SAW
Seperti tahun-tahun sebelumnya Perayaan Maulid berlangsung di
beberapa tempat, ada yang berlangsung sangat meriah namun ada pula yang
berlangsung sederhana.
Perayaan Maulid dibeberapa daerah sudah menjadi tradisi, bahkan
ada yang mengarah ke praktik syirik dengan mengadakan sesajian, berkurban untuk
alam, laut misalkan, pemubadziran makanan atau harta, ikhtilath atau campur
baur laki-laki dan perempuan, praktek yang mengancam jiwa dengan
berdesak-desakan atau rebutan makanan, dan lainnya yang bertentangan dengan syari’at.
Dibalik semua perayaan yang berlangsung tersebut ada hal yang paling penting
kita maknai, agar perayaan itu bukan sekedar seremonial belaka.
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (iaitu)
bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan ia
banyak menyebut (Nama) Allah." (al-Ahzab: 21)
Sejarah manusia telah melahirkan banyak tokoh hebat yang telah menjadi titik
balik suatu perubahan peradaban dan tatanan masyarakat tertentu hingga kemudian
layak menjadi idola bagi masyarakat tersebut. Tokoh yang
diidolakan ini merupakan unsur vital dari identitas yang paling sejati dari
seseorang. Figur idola menjadi miniatur dari idealisme, Pengentalan dari
berbagai jalan hidup yang diyakini. Bagaimana pun, sistem keyakinan selalu
mengupayakan pengidolaan. Karena tanpa itu, keyakinan akan kehilangan kiblat.
Dalam tradisi Islam, ada budaya perayaan maulid Nabi: event yang dimanfaatkan
untuk "menghidupkan" idola lewat pembacaan kembali lembaran-lembaran
sejarah Nabi Muhammad. Dalam dunia Islam, Nabi Muhammad mestinya adalah super
idol bagi setiap generasi Islam sepanjang zaman. Sayangnya, dalam proses
gesekan budaya dan rentang waktu yang panjang, keidolaan Nabi terkadang
tereduksi menjadi tokoh non empirik.
Sebagai ritual keagamaan, tradisi maulid memang masih diperdebatkan soal
benar-tidaknya; sunnah-bid'ahnya. Perdebatan yang sebenarnya hanya pada level
kulit; bentuk dan cara, bukan pada esensi "spiritualitas sejarah" dan
"penghadiran ulang ketokohan" yang diupayakan lewat tradisi tersebut.
Merayakan maulid Nabi berati berusaha menghadirkan kembali sosok ketokohan
beliau dan memperpendek rentang waktu yang ada.
Sebagai sebuah seremonial, peringatan Maulid Nabi memang baru dilakukan pada
pertengahan Abad ke-6 Hijriah. Tradisi ini dimulai di Mosul oleh Syaikh Umar
bin Muhammad al-Mala, kemudian dikembangkan oleh Muzhaffar al-Din bin Zaynuddin
(549-630), penguasa Irbil. Tapi, esensi maulid sebagai penghadiran tokoh
sejarah secara praktis sudah sangat mengakar sejak generasi pertama umat Islam.
Para sahabat adalah orang-orang yang paling "gemar" menghadirkan
sejarah Rasulullah dalam ruang kehidupan mereka, mulai dari urusan rumah tangga
sampai masalah politik dan militer.
Kehadiran sejarah Rasulullah menjadi inspirasi paling sempurna bagi seorang
muslim dalam menjalani apapun dalam realitas hidupnya. Shalah al-Din al-Ayyubi,
panglima agung muslimin dan teman perjuangan Muzhaffar dalam Perang Salib,
menggunakan tradisi pembacaan sejarah Nabi sebagai strategi untuk menggedor
motivasi pasukannya. Ada sisi-sisi sejarah Nabi yang memberikan gambaran
sempurna sebuah jiwa heroik dan ksatria. Maka, al-Ayyubi meletakkan Rasulullah
sebagai idola militer tentara melalui tradisi pembacaan sejarahnya.
Upaya al-Ayyubi membangkitkan heroisme muslimin vis a vis Pasukan Salib dalam
bentuknya paling suspens. Dan, itu mutlak diperlukan sebagai urat nadi dari
sebuah perlawanan dan perjuangan.
Al-Ayyubi memenangkan Perang Salib, mengusir mereka dari Al-Quds dan daerah-daerah
muslimin yang lain--mungkin salah satunya berkat pengidolaan sejarah dan
motivasi historik yang terus ditanamkan dalam ruang pikiran, jiwa dan pandangan
hidup mereka.
Sejarah dibaca memang untuk melahirkan tokoh di masa lampau. Ini menjadi salah
satu filosofi dari displin sejarah itu sendiri. Dalam tradisi maulid kita, hal
itu sangat kental. Bahkan, tidak hanya melahirkan tapi juga menyegarkan kembali
bahwa hanya ada satu tokoh kunci dan super idol dalam keyakinan kita, yakni
Nabi Muhammad saw.
Menciptakan idola dari tokoh sejarah adalah hal yang cukup sulit. Tokoh sejarah
hanya digambarkan dalam bentuk cerita-cerita, tidak bersentuhan secara empirik
dengan realitas yang sedang kita alami. Gambaran dalam sejarah tidak sekongkrit
ketika seseorang secara langsung bertemu atau merasakan sendiri bagaimana sepak
terjang tokoh itu. Diperlukan penciptaan momen yang tepat agar sejarahnya
hadir, menyentuh dan meninggalkan pengaruh semi-empirik terhadap seseorang.
Di sinilah, peringatan sejarah secara serentak seperti Maulid Nabi menemukan
urgensitasnya yang paling esensial. Seseorang lebih mudah mencintai ayah, ibu,
saudara atau temannya daripada mencintai Rasulullah, karena ada interaksi
langsung dengan mereka. Lebih mudah mengidolakan tokoh yang berada di sekeliling
kita daripada mengidolakan tokoh sejarah seperti Rasulullah saw. Kita bisa
bersentuhan langsung dengan kiprah dan kepribadian orang-orang yang berada di
sekeliling kita. Mereka lebih mudah mengisi ruang pikiran dalam hidup kita
daripada tokoh sejarah.
Sulitnya menghadirkan tokoh sejarah di detak dada, diakui oleh Rasulullah
sendiri. Beliau memberikan posisi istimewa untuk orang-orang yang mempercayai
beliau padahal mereka tidak pernah melihat beliau. "Mereka
saudara-saudaraku," sabda beliau dalam sebuah hadits. Untuk para shahabat
di sekelilingnya, Rasulullah tidak menyebut mereka "saudara", tapi
"teman".
Keyakinan terhadap tokoh sejarah menjadi salah satu bagian paling inti dari
agama. Dalam al-Durr al-Mantsur, al-Suyuthi menyebutnya sebagai keimanan
terhadap al-ghayb dalam arti tidak hadir dalam realitas hidup. Kepercayaan
terhadap al-ghayb ini merupakan point pokok dari religiusitas seseorang.
Makna Maulid Nabi yang dalam dunia kita terus diperingati setiap tanggal
kelahiran beliau bukan lagi sebuah kesemarakan seremonial, tapi sebuah momen
spiritual untuk mentahbiskan beliau sebagai figur tunggal yang mengisi pikiran,
hati dan pandangan hidup kita.
Dalam maulid kita tidak sedang membikin sebuah upacara, tapi perenungan dan
pengisian batin agar tokoh sejarah tidak menjadi fiktif dalam diri kita, tapi
betul-betul secara kongkrit tertanam, mengakar, menggerakkan detak-detak
jantung dan aliran darah ini.
Maka seperti al-Ayyubi yang menghadirkan Nabi Muhammad di medan perang kita
mesti menghadirkan beliau dalam ruang hidup yang lain. Tidak hanya dalam bentuk
cerita-cerita yang mengagumkan, tapi juga semangat keteladanan dalam menjalani
realitas hidup ini.
Makna dan Hikmah Maulid
Nabi Muhammad SAW
Tanggal 12 Rabiul Awal 1432 H, bertepatan
pada 15 Februari 2010 seluruh kaum muslim merayakan maulid Nabi Muhammad SAW,
tidak lain merupakan warisan peradaban Islam yang dilakukan secara turun
temurun. Dalam catatan historis, Maulid dimulai sejak zaman kekhalifahan
Fatimiyah di bawah pimpinan keturunan dari Fatimah az-Zahrah, putri Muhammad.
Perayaan ini dilaksanakan atas usulan panglima perang, Shalahuddin al-Ayyubi
(1137M-1193 M), kepada khalifah agar mengadakan peringatan hari kelahiran
Muhammad. Tujuannya adalah untuk mengembalikan semangat juang kaum
muslimin dalam perjuangan membebaskan Masjid al-Aqsha di Palestina dari
cengkraman kaum Salibis. Yang kemudian, menghasilkan efek besar berupa semangat
jihad umat Islam menggelora pada saat itu. Secara subtansial, perayaan
Maulid Nabi adalah sebagai bentuk upaya untuk mengenal akan keteladanan
Muhammad sebagai pembawa ajaran agama Islam. Tercatat dalam sepanjang sejarah
kehidupan, bahwa nabi Muhammad adalah pemimipn besar yang sangat luar biasa
dalam memberikan teladan agung bagi umatnya. Dalam konteks ini, Maulid
harus diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan
umat. Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun nilai-nilai profetik agar
tercipta masyarakat madani (Civil Society) yang merupakan bagian dari demokrasi
seperti toleransi, transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta
lingkungan, pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan
humanisme. Dalam tatanan sejarah sosio antropologis Islam, Muhammad dapat
dilihat dan dipahami dalam dua dimensi sosial yang berbeda dan saling
melengkapi. Pertama, dalam perspektif teologis-religius, Muhammad dilihat
dan dipahami sebagai sosok nabi sekaligus rasul terakhir dalam tatanan konsep
keislaman. Hal ini memposisikan Muhammad sebagai sosok manusia sakral yang
merupakan wakil Tuhan di dunia yang bertugas membawa, menyampaikan, serta
mengaplikasikan segala bentuk pesan “suci” Tuhan kepada umat manusia secara
universal. Kedua, dalam perspektif sosial-politik, Muhammad dilihat dan
dipahami sebagai sosok politikus andal. Sosok individu Muhammad yang identik
dengan sosok pemimpin yang adil, egaliter, toleran, humanis, serta
non-diskriminatif dan hegemonik, yang kemudian mampu membawa tatanan masyarakat
sosial Arab kala itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang sejahtera dan
tentram. Tentu, sudah saatnya bagi kita untuk mulai memahami dan
memperingati Maulid secara lebih mendalam dan fundamental, sehingga kita tidak
hanya memahami dan memperingatinya sebatas sebagai hari kelahiran sosok nabi
dan rasul terakhir yang sarat dengan serangkaian ritual-ritual
sakralistik-simbolik keislaman semata, namun menjadikannya sebagai kelahiran
sosok pemimpin. Karena bukan menjadi rahasia lagi bila kita sedang
membutuhkan sosok pemimpin bangsa yang mampu merekonstruksikan suatu citra
kepemimpinan dan masyarakat sosial yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan
nondiskriminatif, sebagaimana dilakukan Muhammad untuk seluruh umat
manusia. Kontekstualisasi peringatan Maulid tidak lagi dipahami dari
perspektif keislaman saja, melainkan harus dipahami dari berbagai perspektif
yang menyangkut segala persoalan. Misal, politik, budaya, ekonomi,
maupun agama. Disalin Dari
Tanggal 12 Rabiul Awal 1432 H,
bertepatan pada 15 Februari 2011 seluruh kaum muslim merayakan maulid Nabi
Muhammad SAW, tidak lain merupakan warisan peradaban Islam yang dilakukan
secara turun temurun. Dalam catatan historis, Maulid dimulai sejak zaman
kekhalifahan Fatimiyah di bawah pimpinan keturunan dari Fatimah az-Zahrah,
putri Nabi Muhammad SAW. Perayaan ini dilaksanakan atas usulan panglima perang,
Shalahuddin al-Ayyubi (1137M-1193 M), kepada khalifah agar mengadakan
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Tujuannya adalah untuk
mengembalikan semangat juang kaum muslimin dalam perjuangan membebaskan Masjid
al-Aqsha di Palestina dari cengkraman kaum Salibis. Yang kemudian, menghasilkan
efek besar berupa semangat jihad umat Islam menggelora pada saat itu. Secara
subtansial, perayaan Maulid Nabi adalah sebagai bentuk upaya untuk mengenal
akan keteladanan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran agama Islam. Tercatat
dalam sepanjang sejarah kehidupan, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pemimipn
besar yang sangat luar biasa dalam memberikan teladan agung bagi umatnya.
Dalam konteks ini, Maulid harus
diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat.
Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta
masyarakat madani (Civil Society) yang merupakan bagian dari demokrasi seperti
toleransi, transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan, pluralisme,
keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme. Dalam tatanan sejarah
sosio antropologis Islam, Nabi Muhammad SAW dapat dilihat dan dipahami dalam
dua dimensi sosial yang berbeda dan saling melengkapi.
Pertama, dalam perspektif teologis-religius,
Nabi Muhammad SAW dilihat dan dipahami sebagai sosok nabi sekaligus rasul
terakhir dalam tatanan konsep keislaman. Hal ini memposisikan Nabi Muhammad SAW
sebagai sosok manusia sakral yang merupakan wakil Tuhan di dunia yang bertugas
membawa, menyampaikan, serta mengaplikasikan segala bentuk pesan “suci” Tuhan
kepada umat manusia secara universal.
Kedua, dalam perspektif
sosial-politik, Beliau dilihat dan dipahami sebagai sosok politikus andal.
Sosok individu Nabi Muhammad SAW yang identik dengan sosok pemimpin yang adil,
egaliter, toleran, humanis, serta non-diskriminatif dan hegemonik, yang
kemudian mampu membawa tatanan masyarakat sosial Arab kala itu menuju suatu
tatanan masyarakat sosial yang sejahtera dan tentram.
Tentu, sudah saatnya bagi kita
untuk mulai memahami dan memperingati Maulid secara lebih mendalam dan
fundamental, sehingga kita tidak hanya memahami dan memperingatinya sebatas
sebagai hari kelahiran sosok nabi dan rasul terakhir yang sarat dengan
serangkaian ritual-ritual sakralistik-simbolik keislaman semata, namun
menjadikannya sebagai kelahiran sosok pemimpin.
Karena bukan menjadi rahasia lagi
bila kita sedang membutuhkan sosok pemimpin bangsa yang mampu merekonstruksikan
suatu citra kepemimpinan dan masyarakat sosial yang ideal, egaliter, toleran,
humanis dan nondiskriminatif, sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad SAW untuk
seluruh umat manusia. Kontekstualisasi peringatan Maulid tidak lagi dipahami
dari perspektif keislaman saja, melainkan harus dipahami dari berbagai
perspektif yang menyangkut segala persoalan. Misal, politik, budaya, ekonomi,
maupun agama.
Sumber (dengan beberapa perubahan)
Makna dan Hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW
Tanggal 12 Rabiul Awal 1431 H, bertepatan pada 26 Februari 2010 seluruh
kaum muslim merayakan maulid Nabi Muhammad SAW, tidak lain merupakan warisan peradaban Islam
yang dilakukan secara turun temurun.
Dalam
catatan historis, Maulid dimulai sejak zaman kekhalifahan Fatimiyah di bawah
pimpinan keturunan dari Fatimah az-Zahrah, putri Muhammad. Perayaan ini
dilaksanakan atas usulan panglima perang, Shalahuddin
al-Ayyubi (1137M-1193 M), kepada khalifah agar mengadakan peringatan hari kelahiran Muhammad.
Tujuannya
adalah untuk mengembalikan semangat juang kaum muslimin dalam perjuangan
membebaskan Masjid al-Aqsha di Palestina dari
cengkraman kaum Salibis. Yang kemudian, menghasilkan efek besar berupa
semangat jihad umat Islam menggelora pada saat itu.
Secara
subtansial, perayaan Maulid Nabi adalah sebagai bentuk
upaya untuk mengenal akan keteladanan Muhammad sebagai pembawa ajaran agama
Islam. Tercatat dalam sepanjang sejarah kehidupan, bahwa nabi Muhammad
adalah pemimipn besar yang sangat luar biasa dalam memberikan teladan agung
bagi umatnya.
Dalam
konteks ini, Maulid harus diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi
diri atas kesalehan umat. Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun
nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani (Civil Society) yang
merupakan bagian dari demokrasi seperti toleransi,
transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan, pluralisme,
keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme.
Dalam
tatanan sejarah sosio antropologis Islam, Muhammad dapat dilihat dan dipahami
dalam dua dimensi sosial yang berbeda dan saling melengkapi.
Pertama,
dalam perspektif teologis-religius, Muhammad
dilihat dan dipahami sebagai sosok nabi sekaligus rasul terakhir dalam tatanan
konsep keislaman. Hal ini memposisikan Muhammad sebagai sosok manusia sakral
yang merupakan wakil Tuhan di dunia yang bertugas membawa, menyampaikan, serta
mengaplikasikan segala bentuk pesan “suci” Tuhan kepada umat manusia secara
universal.
Kedua,
dalam perspektif sosial-politik, Muhammad dilihat dan dipahami sebagai sosok
politikus andal. Sosok individu Muhammad yang identik
dengan sosok pemimpin yang adil, egaliter, toleran, humanis, serta
non-diskriminatif dan hegemonik, yang kemudian mampu membawa tatanan masyarakat
sosial Arab kala itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang
sejahtera dan tentram.
Tentu,
sudah saatnya bagi kita untuk mulai memahami dan memperingati Maulid secara
lebih mendalam dan fundamental, sehingga kita tidak hanya memahami dan
memperingatinya sebatas sebagai hari kelahiran sosok nabi dan rasul terakhir
yang sarat dengan serangkaian ritual-ritual sakralistik-simbolik keislaman
semata, namun menjadikannya sebagai kelahiran sosok pemimpin.
Karena
bukan menjadi rahasia lagi bila kita sedang membutuhkan sosok pemimpin bangsa
yang mampu merekonstruksikan suatu citra kepemimpinan dan masyarakat sosial
yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan nondiskriminatif, sebagaimana
dilakukan Muhammad untuk seluruh umat manusia.
Kontekstualisasi
peringatan Maulid tidak lagi dipahami dari perspektif keislaman saja, melainkan
harus dipahami dari berbagai perspektif yang menyangkut segala persoalan. Misal,
politik, budaya, ekonomi, maupun agama.