Cerita Rakyat
30.7.12
Kisah Datu Museng.
Kisah cinta nan mengharukan antara Datu Museng dan Maipa Deapati ini
berangkat dari cerita rakyat yang sangat populer dikalangan masyarakat
Makassar, yang dituturkan oleh orang-orang tua kepada anak cucu mereka,
agar mereka dapat memetik hikmah dari pendidikan, perjuangan dan
kesetiaan. Begitu hebatnya cerita antara Datu Museng putra bangsawan
kerajaan Gowa dan Maipa Deapati Putri bangsawan Kerajaan Sumbawa ini
tertanam di dalam benak orang-orang makassar, sehingga kemudian nama
dari kedua tokoh legendaris ini pantas untuk diabadikan sebagai nama
jalan di Kota Makassar, Nama jalan itu seakan sengaja dibuat
berdampingan saling berdekatan seakan-akan Pemerintah Kota Makassar
turut merestui hubungan percintaan abadi mereka berdua.
1.2.12
Legenda Pulau Belitung.
Hikayat Keramat Bujang : Kisah Cerita Legenda Pulau Belitung
Di satu bagian hutan, dikenal dengan nama Ai' Membiding, Desa Bantan, terdapat dua buah makam, yaitu Makam Tu' Rangga Tuban dan isterinya dan di Gunung/Bukit Bujang terdapat pula makam, dikenal sebagai Keramat Bujang. Dari dan untuk ketiga tokoh ini diceritakan tentang kehebatan Tu' Rangga Tuban dan Bujang.
MENURUT cerita yang berkembang di daerah Bantan, Tu' Rangga Tuban berasal dari Tanah Jawa. Beliau mempunyai dua isteri dan seorang anak angkat bernama Bujang. Kehebatan Tu' Rangga Tuban ini sangat dikenal dan termasyhur ke seluruh wiayah sekitar Bantan Kecik.
2.1.12
Legenda Gunung Argopuro.
Legenda Gunung Argopuro.
Legenda gunung Argopuro, sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Argopuro bisa di artikan Gunung Pura atau bisa di sebut juga Pura di Puncak Gunung. Karena banyak di temukan struktur bangunan berarsitek mirip Pura yang merupakan tempat peribadatan umat Hindu. Dan berawal dari sanalah gunung ini dinamakan Argopuro.
19.12.11
Legenda Danau Rayo
Legenda Danau Rayo dan Bujang Kurap
Panorama Danau Rayo yang sangat mempesona, di genangi air sangat jernih sehingga dapat terlihat dasar Danau tersebut. Serta di kelilingi oleh rimbunnya pohon-pohon dan kicauan burung dan harumnya daun yang berada di pinggir danau. Danau Rayo berada di kawasan Hutan Lindung Kab.Musi Rawas tepatnya di Desa Sungai Jernih Kec.Muara Rupit Sumatra-selatan. Selain itu juga Danau Rayo mempunyai Legenda dan kisah Mistis yang di percaya oleh penduduk asli setempat.
18.10.11
Si Kabayan.
Si Kabayan Sebagai Cerita Rakyat
Sebagai cerita rakyat Sunda Si Kabayan sejajar dengan Abu Nawas dan Koja Nasrudin. Orang sering menyejajarkan Si Kabayan dengan tokoh pintar-bodoh di suku-suku lain. Akan tetapi tokoh-tokoh cerita rakyat suku-suku lain itu tidak sekaya Si Kabayan. Cerita-cerita mereka kadang hanya diwakili satu cerita. Cerita Si Pandir di Melayu, misalnya, meliputi beberapa cerita saja. Begitu pula Si Luncai dan Pak Senik, hanya ada satu dua ceritanya. Sedangkan Si Kabayan, kalau dikumpulkan bisa mencapai seratus cerita lebih. Coster-Wijaman bisa mengumpulkan 80 cerita di daerah Banten saja.
14.10.11
Nyi Roro Kidul.
Kisah Legenda Nyi Roro Kidul
Cerita
tentang Nyi Roro Kidul ini sangat terkenal. Bukan hanya dikalangan
penduduk Yogyakarta dan Surakarta, melainkan di seluruh Pulau Jawa. Baik
di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Di daerah Yogyakarta kisah
Nyi Roro Kidul selalu dihubungkan dengan kisah para Raja Mataram.
Sedangkan di Jawa Timur khususnya di Malang Selatan tepatnya di Pantai
Ngliyep, Nyi Roro Kidul dipanggil dengan sebutan Kanjeng Ratu Kidul. Di
Pantai Ngliyep juga diadakan upacara Labuhan yaitu persembahan para
pemuja Nyi Roro Kidul yang menyakini bahwa kekayaan yang mereka dapatkan
adalah atas bantuan Nyi Roro Kidul dan anak buahnya.
6.10.11
Reog Ponorogo dan Warok.
Legenda REOG PONOROGO dan WAROK
Salah satu ciri khas seni budaya Kabupaten Ponorogo Jawa Timur adalah kesenian Reog Ponorogo.
Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan serta
tak lepas pula dari dunia mistis dan kekuatan supranatural. Reog
mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam mengangkat dadak merak
seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang
pertunjukan berlangsung. Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong,
genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada
slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, unik, eksotis serta
membangkitkan semangat. Satu group Reog biasanya terdiri dari seorang
Warok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan
Prabu Kelono Suwandono. Jumlah kelompok reog berkisar antara 20 hingga
30-an orang, peran utama berada pada tangan warok dan pembarongnya.
4.10.11
Burung Moopoo.
Asal Usul Burung Moopoo
Minahasa
yang dahulu dikenal dengan Malesung adalah salah satu nama kabupaten di
Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Di kabupaten ini hidup beragam
jenis binatang langka dan khas Minahasa. Salah satu binatang khas
Minahasa adalah burung moopoo. Konon, burung moopoo ini merupakan
jelmaan seorang anak laki-laki. Mengapa anak laki-laki itu menjelma
menjadi burung moopoo? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita rakyat
Asal Usul Burung Moopoo berikut ini.
Label:
Cerita Rakyat.
Asal usul Telaga Wekaburi
Telaga Wekaburi terletak di Desa Werabur, Kecamatan
Windesi, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat. Sebelum menjadi Telaga
Wekaburi, tempat ini masih berupa sungai kecil. Namun, tersebab oleh sebuah
peristiwa, sungai itu kemudian berubah menjadi telaga. Peristiwa apakah itu?
Simak kisahnya dalam cerita Asal Usul Telaga
Wekaburi berikut ini!
* * *
Dahulu, di Wekaburi atau yang kini dikenal dengan nama
Desa Werabur, terdapat sebuah sungai kecil yang airnya sangat jernih. Air
sungai itu menjadi sumber kehidupan bagi Suku Wekaburi yang mendiami daerah
tersebut. Hal yang unik di tempat ini adalah rumah-rumah panggung milik
penduduk setempat dibangun di atas aliran sungai itu.
Suatu ketika, warga Suku Wekaburi akan mengadakan
pesta adat di kampung. Mereka segera mengadakan berbagai persiapan seperti
membangun rumah untuk para tamu undangan, menyiapkan makanan, dan sebagainya.
Pada hari yang telah ditentukan, para tamu undangan dari berbagai suku seperti
Suku Kandami, Wettebosy, Sakarnawari, dan Torembi tiba di Kampung Wekaburi. Di
antara para tamu yang hadir, tampak seorang nenek bersama cucu perempuan
bernama Isosi. Nenek itu juga ditemani oleh seekor anjing.
Ketika hari sudah mulai gelap, acara adat pun dimulai.
Acara itu awalnya berjalan lancar dan sangat meriah. Berbagai tarian
dipertunjukkan di hadapan para tamu. Banyak di antara tamu yang ikut serta
menari dengan riang gembira. Pada saat itulah, seorang penari tidak sengaja
menginjak ekor anjing kesayangan si nenek yang sedang tidur nyenyak di dekat perapian.
Tak ayal, anjing itu pun menggonggong dengan kerasnya.
Melihat peristiwa itu, si nenek menjadi marah. Ia lalu
membawa anjingnya masuk ke dalam sebuah ruangan dan mengikatkan cawat pada
tubuhnya. Setelah itu, ia keluar sambil memeluk anjingnya dan kemudian menari
bersama penari lainnya. Nenek itu tahu bahwa perbuatannya telah melanggar adat.
Menurut aturan adat, jika ada penduduk yang berbuat demikian akan mendatangkan
kilat, guntur, dan disertai hujan deras. Si nenek memang sengaja melakukan hal
tersebut karena ingin memberi hukuman kepada mereka yang telah menginjak
anjingnya.
Nenek itu sadar bahwa perbutannya dapat menciptakan
malapetaka. Oleh karena itu, sang nenek segera mengambil puntung api dan
disembunyikan dalam seruas bambu agar tidak terlihat oleh orang lain. Potongan
bambu itu nantinya akan dijadikan obor. Selanjutnya, nenek itu mengajak cucunya
agar segera keluar dari kampung itu.
“Ayo, cucuku. Kita segera tinggalkan kampung ini,”
ajak si nenek.
“Baik, Nek,” jawab Isosi.
Penerangan obor membantu si nenek bersama cucu dan
anjing kesayangannya berjalan menuju ke Gunung Ainusmuwasa melalui jalan
setapak. Namun tanpa mereka sadari, ada seorang pemuda yang bernama Asya
mengikuti langkah mereka. Rupanya, Asya adalah kekasih Isosi, cucu si nenek.
“Tunggu, Nek!” serunya. “Bolehkah saya ikut bersama
kalian?”
Mengetahui bahwa pemuda itu adalah kekasih cucunya, si
nenek pun tidak keberatan. Setelah itu, rombongan si nenek kembali melanjutkan
perjalanan. Tak berapa lama kemudian, mereka tiba di puncak Gunung Ainusmuwasa.
Dari atas gunung tampak cuaca mulai memburuk. Awan gelap mulai menutup langit
di atas hulu Sungai Wekaburi. Selang beberapa saat kemudian, kilat yang
disertai guntur terlihat menyambar-nyambar. Hujan deras pun akhirnya mulai
turun.
Sementara itu, para penduduk Wekaburi serta tamu
undangan masih asyik berpesta. Mereka tidak menyadari jika bahaya sedang
mengancam. Semakin lama, hujan turun semakin lebat sehingga terjadilah banjir
besar. Mereka baru sadar akan bahaya tersebut ketika air telah naik ke lantai
rumah. Kepanikan akhirnya melanda para penduduk. Mereka lari kalang kabut
hendak menyelamatkan diri. Namun malang, semua sudah terlambat. Banjir yang
dahsyat tersebut menghanyutkan semua yang ada.
Keesokan harinya, si nenek bersama Isosi dan Asya
turun dari gunung untuk melihat peristiwa yang terjadi semalam. Tak satu pun
rumah penduduk yang tersisa. Nasib yang sama juga terjadi pada para penduduk.
Mereka banyak yang terbawa arus, bahkan sebagian yang lain menjelma menjadi
katak dan buaya. Sementara itu, Sungai Wekaburi telah berubah menjadi sebuah
telaga yang kemudian disebut Telaga Wekaburi. Hingga kini, telaga tersebut
menjadi salah satu obyek wisata di daerah Teluk Wondama, Papua Barat.
Akibat peristiwa banjir yang telah menghanyutkan
seluruh penduduk membuat si nenek merasa amat puas. “Itulah akibat dari
perbuatan kalian! Kalian telah menginjak anjing kesayanganku,” kata nenek.
Si nenek kemudian mengawinkan Isosi dengan Asya dengan
harapan bahwa kelak anak cucu mereka akan mengisi Wekaburi yang telah kosong
itu. Setelah menikah, mereka kemudian membangun rumah besar dan panjang yang
diberi nama Aniobiaroi.
Beberapa tahun kemudian, Isosi melahirkan banyak anak
sehingga rumah itu semakin lama semakin penuh sesak. “Wah, rumah kita sudah
penuh sesak, istriku. Rumah ini harus kita perbesar lagi,” ujar Asya. “Benar,
Kakanda. Rumah ini harus kita perpanjang dan perbesar lagi.” jawab Isosi
setuju.
Rumah Aniobiaroi akhirnya disambung lagi sehingga
bertambah besar dan panjang. Rumah itu kemudian diberi nama Manupapami.
Beberapa tahun kemudian, rumah itu kembali penuh sesak. Anak-anak sekaligus
menantu mereka terus melahirkan banyak keturunan. Maka, Asya pun mengambil
keputusan untuk menyambung rumah Aniobiroi. Rumah itu kemudian diberi
nama Yobari.
Demikian seterusnya, rumah mereka tetap saja tidak
mampu menampung seluruh keluarga. Oleh karena itu, mereka pun menyambung rumah
itu hingga empat kali yang masing-masing diberi nama rumah Sonesyari dan
Ketarana. Walaupun sudah empat kali disambung, rumah mereka tetap saja
penuh sesak. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mencarikan tempat yang baru bagi
sebagian penghuninya dan membangun rumah untuk setiap keluarga.
Konon, anak keturunan Asya dan Isosi yang keluar dari
rumah Manupapami tersebut kemudian menjadi Suku Wettebosi, sedangkan
anggota keluarga yang keluar dari rumah Yobari menjadi suku Wekaburi.
Adapun anggota keluarga yang keluar dari rumah Sonesyari dan Ketarana
dikenal dengan nama Suku Torembi yang membangun rumah di atas air. Oleh
karena itulah, kampung baru yang mereka diami tersebut dinamakan Kampung
Werabur, yang berarti kampung yang terletak di atas air.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Telaga
Wekaburi dari Teluk Wondama, Papua Barat. Pesan moral yang dapat
dipetik dari cerita di atas adalah bahwa perkara sekecil apapun dapat
mendatangkan masalah yang lebih besar. Hanya karena menginjak anjing milik
seorang nenek, penduduk Wekaburi harus menerima akibatnya, yaitu hanyut terbawa
arus banjir. Oleh karena itu, kita harus selalu berhati-hati agar tidak
menganggu milik orang lain, baik sengaja maupun tidak sengaja.
Asal usul Burung Cenderawasih
Cenderawasih termasuk burung langka di Indonesia.
Burung jenis ini hanya terdapat di Papua yang sekaligus menjadi ciri khas pulau
tersebut. Warna bulunya yang sangat indah membuat cenderawasih dijuluki sebagai
bird of paradise (burung dari surga). Oleh karena itu, sebagian
masyarakat Papua percaya bahwa burung cenderawasih adalah titisan bidadari dari
surga. Namun menurut masyarakat Fakfak, cenderawasih merupakan penjelmaan
seorang anak laki-laki bernama Kweiya. Bagaimana kisahnya? Simak dalam cerita Asal
Usul Burung Cenderawasih berikut ini.
* * *
Pada zaman dahulu hiduplah seorang perempuan tua
bersama anjing betinanya di daerah Pegunungan Bumberi, Kabupaten Fakfak,
Provinsi Papua Barat. Suatu hari, si perempuan tua dengan anjing kesayangannya
sedang mencari makanan di hutan. Hari itu, mereka harus berjalan cukup jauh
karena persediaan makanan di sekitar rumahnya sudah mulai berkurang. Setelah
berjalan cukup jauh, mereka tiba di suatu tempat yang dipenuhi oleh pohon buah
merah (sejenis pandan khas Papua) yang kebetulan telah berbuah. Perempuan tua
itu segera memetik buah merah lalu diberikan kepada anjingnya yang kelaparan.
Anjing betina itu langsung melahap buah merah hingga badannya terlihat segar
kembali.
Namun, beberapa saat kemudian, tiba-tiba anjing itu
merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Perut anjing betina
itu semakin membesar seperti sedang bunting. Ajaib, hanya dalam waktu yang
tidak lama, anjing betina itu melahirkan seekor anak anjing yang mungil.
Melihat keajaiban itu, perempuan tersebut juga bermaksud memakan buah merah
agar mendapatkan keturunan seperti yang dialami oleh anjingnya.
“Oh, ajaib sekali buah merah itu,” kagum perempuan
itu. “Aku ingin mencoba buah itu agar aku bisa melahirkan anak.”
Perempuan itu segera memetik buah merah lalu
memakannya. Begitu ia menelan buah tersebut, perutnya tiba-tiba mengalami hal
yang serupa dengan anjingnya, perutnya semakin lama semakin membesar. Segera
saja sang perempuan bergegas pulang ke pulang. Setiba di rumah, ia akhirnya
melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Kweiya.
Sepuluh tahun kemudian, Kweiya telah tumbuh menjadi
remaja. Kweiya sangat rajin membantu ibunya bekerja dengan membuka hutan untuk
dijadikan kebun sayur. Namun karena hanya menggunakan kapak batu, ia hanya
mampu menebang satu batang pohon setiap hari. Sementara itu, ibunya hanya bisa
membantu membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah. Akibatnya, asap tebal
pun mengepul dan membumbung tinggi ke udara. Tanpa mereka sadari, ternyata asap
tebal tersebut telah menarik perhatian seorang pria tua yang sedang mengail di
sebuah sungai.
“Hai, dari mana asal asap tebal itu? Siapa yang sedang
membakar hutan?” gumam pria tua itu.
Oleh karena penasaran, pria tua itu segera mencari
sumber asap tebal tersebut. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan,
sampailah ia di tempat asap itu berasal. Di tempat itu, ia mendapati seorang
remaja tampan sedang menebang pohon di bawah terik matahari.
“Weing weinggiha pohi (selamat siang), anak muda,”
sapa pria tua itu. “Siapa kamu dan mengapa menebang hutan di sini?”
“Nama saya Kweiya. Saya ingin membuat kebun untuk
membantu ibu saya” jawab Kweiya
Pria tua itu mengerti bahwa Kweiya adalah anak yang
berbakti kepada orang tua. Maka, ia pun memberikan kapak besinya kepada Kweiya.
“Kalau begitu, ambillah kapak besi ini. Kamu akan
lebih cepat menebang pohon,” kata pria tua itu. “Terima kasih Pak,” jawab
Kweiya.
Kweiya pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan
cepat. Dalam waktu singkat, ia mampu merobohkan beberapa pohon yang besar.
Setelah itu, ia bergegas pulang untuk menceritakan hasil pekerjaannya kepada
ibunya. Ibunya pun amat heran saat mendengar cerita itu.
“Bagaimana kamu bisa secepat itu menebang pohon-pohon,
anakku? Alat apa yang kamu gunakan?” tanya ibunya heran.
Kweiya terdiam sejenak. Ia tampaknya ingin
merahasiakan pria tua yang telah membantunya itu.
“Aku tidak tahu juga, Bu. Kebetulan tadi tangan saya
terlalu ringan mengangkat kapak sehingga dapat menebang pohon dengan cepat,”
jawab Kweiya.
Mendengar jawaban itu, ibu Kweiya percaya begitu saja.
Sementara itu, Kweiya meminta agar ibunya menyiapkan makanan yang banyak.
Rupanya, Kweiya bermaksud mengajak pria tua itu ikut makan bersama sekaligus
memperkenalkannya kepada ibunya.
“Bu, besok tolong siapkan makanan yang banyak,” pinta
Kweiya.
Keesokan harinya, ibu Kweiya memasak makanan yang
cukup banyak. Sementara itu, Kweiya ingin membuat kejutan untuk ibunya. Ketika
dalam perjalanan pulang ke pondoknya, ia membungkus pria tua itu dengan
sejumlah pohon tebu lengkap dengan daunnya. Setiba di rumah, bungkusan tersebut
diletakkan di depan pintu. Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan seolah-olah
merasa sangat haus. Ia pun meminta ibunya agar mengambilkan sebatang tebu untuk
melepas rasa dahaganya.
“Bu, aku haus sekali. Tolong ambilkan sebatang tebu di
depan pintu itu,” pinta Kweiya.
Ibu Kweiya pun menuruti permintaan anaknya. Saat sang
ibu membuka bungkusan daun tebu, ia sangat terkejut karena mendapati seorang
pria tua sedang berbaring di dalam bungkusan. Seketika, ia pun menjerit
ketakutan seraya berlari masuk ke dalam pondok.
“Kweiya, siapa pria tua itu? Kenapa dia ada di dalam
bungkusan itu?” tanya ibunya heran.
Kweiya tersenyum seraya menenangkan hati ibunya.
“Maafkan aku, Bu,” ucap Kweiya. “Aku tidak bermaksud
menakuti-nakuti Ibu. Sebenarnya, pria tua itulah yang telah menolongku menebang
pohon di hutan. Aku mohon Ibu mau menerimanya sebagai teman hidup!”
Ibu Kweiya terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya
ia menerima permintaan anaknya. Sejak saat itu, pria tua tersebut tinggal
bersama mereka. Kweiya dan ibunya pun tidak merasa kesepian lagi.
Selang beberapa tahun kemudian, ibu Kweiya melahirkan
dua anak laki-laki dan seorang perempuan dari hasil perkawinannya dengan pria
tua itu. Kweiya menganggap ketiga adiknya tersebut sebagai adik kandung. Mereka
hidup rukun dan saling menyayangi. Namun, hubungan persaudaraan mereka akhirnya
menjadi retak karena kedua adik laki-lakinya merasa iri terhadap Kweiya. Mereka
iri karena Kweiya selalu mendapat perhatian khusus dari ibu mereka.
Suatu hari, ketika kedua orangtua mereka sedang ke
kebun, kedua adiknya mengeroyok Kweiya hingga luka-luka. Meskipun merasa kesal,
Kweiya tidak tega membalas perbuatan kedua adiknya. Ia lebih memilih
bersembunyi di salah satu sudut pondoknya sambil memintal tali dari kulit
binatang sebanyak mungkin. Pintalan benang tersebut nantinya akan dibuat sayap.
Sementara itu, orangtua Kweiya baru saja tiba dari
kebun. Ketika mengetahui Kweiya sedang tidak ada di rumah, sang ibu kemudian
bertanya kepada adik-adik Kweiya.
“Ke mana abang kalian pergi?” tanya sang ibu.
“Tidak tahu Bu,” jawab kedua adik laki-laki Kweiya
serentak.
Kedua adik laki-laki Kweiya ini rupanya takut
menceritakan peristiwa perkelahian mereka yang menyebabkan Kweiya pergi dari
rumah. Namun, adik bungsu mereka yang menyaksikan peristiwa tersebut
menceritakannya kepada ibu mereka. Betapa sedihnya sang ibu saat mendengar
cerita putri bungsunya itu. Ia kemudian berteriak memanggil-manggil Kweiya agar
cepat kembali ke rumah. Namun, bukan Kweiya yang datang, melainkan suara burung
yang terdengar.
“Eek.. ek... ek... ek..!” begitu suara burung itu.
Suara itu ternyata suara Kweiya yang telah menyisipkan
pintalan benang pada ketiaknya lalu melompat ke atas bubungan rumah dan
selanjutnya terbang ke atas salah satu dahan pohon di depan rumah mereka.
Kweiya rupanya telah berubah menjadi seekor burung yang amat indah dan bulunya
berwarna-warni. Melihat peristiwa ajaib itu, sang ibu pun menangis tersedu-sedu
sambil meminta benang pintalan kepada Kweiya.
“Kweiya, anakku. Apakah masih ada benang pintalan
untukku?” tanya sang Ibu.
“Bagian Ibu aku sisipkan di dalam payung tikar,” jawab
Kweiya.
Sang ibu pun segera mengambil pintalan benang itu lalu
menyisipkan pada ketiaknya. Setelah berubah menjadi burung, ia kemudian
mengepak-kepakkan sayapnya lalu terbang menyusul Kweiya yang bertengger di
dahan pohon. Konon, kedua burung yang kini dikenal sebagai burung cenderawasih
tersebut terlihat bercakap-cakap dengan kicauan mereka.
“Wong... wong... wong... wong...! Ko... ko... kok... !
Wo-wik!” demikian kicauan mereka yang tidak diketahui maksudnya.
Sejak itulah, burung cenderawasih jantan dan betina
sering muncul di Fakfak, Papua Barat, dengan warna berbeda. Oleh masyarakat
Onin, burung cenderawasih jantan yang bulunya cenderung lebih panjang kemudian
dalam bahasa Lha disebut Siangga, sedangkan burung cenderawasih betina
disebut Hanggam Tombor.
Kedua adik laki-laki Kweiya yang menyaksikan peristiwa
ajaib itu hanya bisa pasrah ditinggalkan oleh ibu dan kakak mereka. Mereka
akhirnya saling menyalahkan sehingga mereka saling lempar abu tungku. Wajah
mereka pun menjadi kelabu hitam, abu-abu, dan ada juga yang menjadi warna
merah. Seketika itu pula, mereka pun berubah menjadi burung dan kemudian
terbang ke hutan rimba untuk menyusul ibu dan kakak mereka. Itulah sebabnya,
hutan rimba di Fakfak lebih banyak dipenuhi oleh beragam burung yang kurang
menarik dibandingkan dengan burung cenderawasih.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Burung Cenderawasih
dari Fakfak, Papua Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas
adalah bahwa sifat iri hati terhadap saudara sendiri seperti kedua adik
laki-laki Kweiya bukanlah sifat terpuji, melainkan justru akan merugikan diri
sendiri.
Topeng Dan Pesta Roh
Topeng
merupakan media atau alat utama yang digunakan oleh orang-orang Suku Asmat di
Papua dalam upacara yang disebut Pesta Roh atau Pesta Topeng. Dalam istilah
orang Asmat, pesta ini disebut dengan mamar atau bunmar pokbui.
Pesta Roh ini bertujuan untuk memperingati roh keluarga dekat yang telah
meninggal dunia. Menurut cerita, upacara mamar bermula dari sebuah
peristiwa yang dialami oleh seorang anak yatim piatu. Peristiwa apakah yang
dialami oleh anak itu sehingga upacara Pesta Roh menjadi tradisi dalam Suku
Asmat? Ikuti kisahnya dalam cerita Topeng dan Pesta Roh berikut ini.
* *
*
Alkisah,
di sebuah kampung di hulu Sungai Sirets di pedalaman Merauke, Papua, hiduplah
seorang anak yatim piatu atau yang biasa panggil si Yatim. Anak itu menjadi
sebatang kara karena dusunnya diserang oleh kampung lain sehingga menyebabkan
seluruh keluarganya meninggal dunia. Kini, si Yatim hidup sendiri di sebuah
rumah yang sudah hampir roboh. Hidupnya sungguh memprihatinkan. Setiap hari ia
selalu menyendiri karena tidak disenangi oleh warga tanpa alasan yang jelas.
Walaupun penduduk di kampung itu hidup makmur, namun tak seorang pun dari
mereka yang mau membantu si Yatim.
Nasib
si Yatim semakin parah ketika suatu hari ia dituduh mencuri makanan dan
barang-barang milik penduduk kampung tanpa disertai dengan bukti. Saat ia
mengelak, warga justru hendak menghukumnya. Karena merasa tidak bersalah, si
Yatim pun melarikan diri meninggalkan kampungnya. Melihat si Yatim melarikan
diri, seorang warga langsung berteriak.
“Ayo,
kejar anak itu!”
Orang-orang
segera mengejar si Yatim beramai-ramai untuk menangkapnya. Sedangkan si Yatim
terus berlari ketakutan masuk ke dalam hutan. Saat tiba di tengah hutan, ia
beristirahat sejenak di bawah sebuah beringin yang rindang. Di situlah ia
berpikir bahwa kalau ia terus berlari maka dirinya pasti akan tertangkap.
Akhirnya, si Yatim memutuskan untuk bersembunyi di atas pohon beringin
tersebut.
“Ah,
sebaiknya aku bersembunyi di atas pohon ini. Aku yakin, mereka tidak akan
melihatku,” gumamnya seraya memanjat pohon beringin itu.
Setelah
berada di atas pohon, si Yatim kemudian bersembunyi di balik rerimbunan daun
dan jumbaian akar-akar beringin. Tak lama kemudian, orang-orang yang
mengejarnya tiba dan berhenti sejenak di bawah pohon beringin itu karena
kehilangan jejak.
“Hai,
lari ke mana anak itu?” celetuk salah seorang dari mereka, kebingungan.
Penduduk
yang lain pun sama bingungnya. Sementara itu, si Yatim yang bersembunyi di atas
pohon beringin merasa ketakutan kalau-kalau keberadaannya diketahui oleh
orang-orang yang mengejarnya. Untung para penduduk segera meninggalkan tempat
itu untuk melanjutkan pengejaran sampai ke dalam hutan. Setelah aman, si Yatim
pun keluar dari persembunyiannya dengan perasaan lega. Ia kemudian duduk di
salah satu cabang pohon beringin itu untuk melepaskan lelah.
Hari
sudah gelap. Anak sebatang kara itu masih saja duduk melamun di atas pohon.
Tampaknya si Yatim sedang bingung memikirkan bagaimana cara membuat penduduk
kampung tidak lagi mengejarnya. Akhirnya, si Yatim menemukan sebuah ide, yaitu
ia ingin menakut-nakuti para penduduk dengan mengenakan topeng yang
menyeramkan. Ketika hendak turun dari pohon itu untuk mencari akar-akar kayu
yang akan dibuat topeng, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok makhluk
menyeramkan yang berdiri di cabang pohon beringin yang lain. Rupanya, makhluk
itu adalah roh penunggu pohon beringin itu.
“Hai,
anak manusia! Kamu siapa dan kenapa kamu berada di atas pohon ini?” tanya
makhluk itu.
“Sa...
saya si Yatim,” jawab si Yatim piatu dengan gugup karena ketakutan.
Bocah
itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di
atas pohon beringin itu. Makhluk penunggu pohon beringin itu pun merasa iba
terhadap nasib yang dialami si Yaitm. Meskipun wajahnya tampak menakutkan,
makhluk itu ternyata baik hati. Ia kemudian memberikan makanan dan minuman
kepada si Yatim. Akhirnya, mereka pun bersahabat.
Setelah
itu, si Yatim turun dari atas pohon untuk mencari akar-akar pohon yang akan
dianyam menjadi sebuah topeng yang menyerupai roh penunggu pohon beringin itu.
Membuat topeng seperti itu tidaklah mudah bagi si Yatim. Ia membutuhkan waktu
sekitar lima hari baru bisa menyelesaikannya. Setelah selesai, topeng itu ia
pakai dan kemudian bercermin di air. Betapa senangnya hati si Yatim karena
topeng hasil buatannya benar-benar menyerupai wajah roh penunggu pohon beringin
itu.
“Aku
yakin, para penduduk pasti akan ketakutan melihatku,” gumamnya.
Ketika
hari mulai gelap, si Yatim pergi ke perkampungan dengan mengenakan topeng dan
menyelinap masuk ke salah satu rumah penduduk. Penghuni rumah itu pun langsung
lari terbirit-birit karena ketakutan.
“Tolong...!
Tolong...! Ada setaaaan...!” teriak penduduk yang ketakutan itu.
Mendengar
teriakan tersebut, penduduk kampung lainnya segera berhamburan keluar rumah dan
mengerumuni warga yang berteriak itu.
“Hai,
apa yang terjadi denganmu?” tanya kepala kampung.
“Ada
setan di dalam rumahku. Sungguh, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
Wajahnya sangat menyeramkan” jelas warga itu.
Mendengar
keterangan tersebut, kepala kampung segera memerintahkan seluruh warganya agar
mengumpulkan sagu untuk dipersembahkan kepada makhluk itu dengan harapan
makhluk itu meninggalkan kampung mereka. Para warga pun segera pulang ke rumah
mereka masing-masing untuk mengambil sagu. Namun, setelah mereka kembali menemui
kepala kampung, tak seorang pun yang membawa sagu. Ternyata, persediaan sagu di
desa tersebut telah habis.
“Kalau
begitu, besok pagi-pagi sekali kalian pergi ke hutan untuk memangkur sagu,”
ujar kepala kampung.
Pada
keesokan harinya, semua orang di kampung itu beramai-ramai berangkat ke hutan.
Sementara itu, si Yatim pun segera menyusun siasat. Ia akan menakut-nakuti
orang-orang yang memangkur sagu di dekat pohon beringin tempat ia bersembunyi.
Ketika hari mulai gelap, si Yatim menutupi jalan setapak di dekat pohon
beringin itu dengan dahan-dahan pohon. Jalan itu nantinya akan dilewati oleh
para pemangkur sagu saat hendak pulang ke perkampungan. Selesai menutupi jalan,
si Yatim segera memakai topengnya lalu bersembunyi di balik semak belukar yang
ada di bawah pohon beringin.
Tak
lama kemudian, tampak serombongan wanita yang membawa sagu hendak melintasi
jalan setapak itu. Melihat jalan terhalang oleh dahan-dahan pohon beringin,
rombongan wanita itu terpaksa berhenti dan meletakkan sagu mereka di tanah.
Pada saat mereka sibuk membersihkan dahan-dahan yang menghalangi jalan, si
Yatim membuat suara menakutkan lalu muncul dari semak belukar dengan memakai
topeng. Tak ayal, rombongan wanita pembawa sagu itu langsung berteriak
ketakutan.
“Ada
setaaan...! Ada setaaan...!” teriak rombongan wanita itu saat melihat topeng
yang amat menyeramkan.
Rombongan
wanita itu pun lari terbirit-birit dan meninggalkan sagu-sagu mereka. Melihat
rombongan wanita itu telah pergi, si Yatim segera membuka topengnya lalu
mengambil sagu-sagu tersebut untuk dibawa ke tempat persembunyiannya. Ia
kemudian membakar sagu itu dan memakannya sampai kenyang.
Sejak
itu, si Yatim selalu menakut-nakuti setiap warga yang melintasi jalan itu dan
mengambil sagu-sagu mereka. Hal itu ia lakukan untuk membuat orang-orang
kampung yang dulu menganiaya dirinya semakin jera. Sementara itu, penduduk
kampung menjadi resah dengan kejadian-kejadian menyeramkan yang sering mereka
alami.
“Sebenarnya
makhluk apa yang suka menakut-nakuti kita itu?” tanya seorang warga.
Tak
seorang pun warga mengetahuinya. Karena penasaran, mereka bersepakat untuk
menjebak makhluk itu. Suatu hari, serombongan wanita diperintahkan untuk pergi
memangkur sagu ke dalam hutan. Sementara itu, sejumlah kaum laki-laki yang kuat
dan pemberani diperintahkan untuk mengintai makhluk itu saat melakukan aksinya.
Ketika para wanita pulang dan menemukan dahan-dahan yang menghalangi jalan,
makhluk yang tidak lain adalah si Yatim bertopeng itu segera menakut-nakuti
mereka. Setelah rombongan pemangkur itu lari meninggalkan sagu mereka, anak
yatim piatu itu segera membuka topengnya. Ia tak sadar jika ada sejumlah orang
yang mengintainya.
“Hai,
lihat!” seru seorang warga saat melihat wajah di balik topeng itu, “Oh, rupanya
makhluk itu ternyata si anak yatim piatu yang selama ini kita kejar.”
Ketika
si Yatim hendak mengambil sagu-sagu yang tergeletak di tanah, penduduk kampung
keluar dari tempat persembunyian mereka dan segera mengepung bocah itu.
“Mau
lari ke mana kamu, hai anak yatim?!” hardik seorang warga.
Si
Yatim akhirnya tertangkap basah oleh penduduk dan tidak dapat berbuat apa-apa.
Ia pun digiring ke perkampungan untuk diadili secara adat. Namun, sebelum
memasuki perkampungan, si Yatim tiba-tiba hilang secara gaib. Orang-orang
kampung yang menggiringnya hanya terperangah menyaksikan peristiwa itu.
Sejak
si Yatim menghilang, para penduduk merasa sudah aman karena tak ada lagi orang
yang menakut-nakuti mereka. Namun, setiap kali melintas di dekat pohon beringin
itu mereka masih saja sering diganggu oleh roh si Yatim. Untuk menghalau roh
itu, mereka pun membuat topeng yang menyerupai topeng si Yatim. Sejak itu,
topeng seperti itu digunakan dalam sebuah ritual yang dikenal dengan Pesta roh
atau Pesta Topeng yang oleh masyarakat setempat disebut dengan mamar atau
bunmar pokbui.
Kini,
ritual Pesta Roh sudah menjadi tradisi masyarakat Suku Asmat untuk memperingati
roh keluarga dekat mereka yang telah meninggal dunia. Jenis topeng yang mereka
gunakan pun bervariasi. Tidak saja terbuat dari akar-akar kayu, tetapi juga
dari belahan-belahan rotan atau kulit kayu fum (genemo hutan). Jenis
topeng yang terbuat dari rotan disebut manimar, sedangkan topeng yang
terbuat dari kulit kayu fum disebut ndat jamu.
* *
*
Demikian
cerita Topeng dan Pesta Roh dari daerah Papua. Pesan moral yang dapat
dipetik dari cerita di atas adalah orang yang menganiaya anak yatim piatu
seperti halnya penduduk kampung dalam cerita di atas akan mendapat balasan yang
setimpal atas perbuatan mereka. Oleh karena telah mengganggu si Yatim, para penduduk
kampung selalu mendapat gangguan dari roh si Yatim.
Asal Mula Nama Irian
Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah keluarga yang
memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut bernama
Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya
dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, saudara-saudaranya
selalu meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika Mananamakrdi melawan,
tak segan-segan saudara-saudaranya akan menendangnya keluar hingga
ia merasa kesakitan.
Suatu hari,
saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka, Mananamakrdi
diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur.
Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut
luas hingga ia menemukan sebuah daratan yang tak lain adalah Pulau Miokbudi
di Biak Timur.
Ia membuat
gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi
kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa.
Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat
disadapnya. Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong
manggarnya. Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya,
ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Suatu siang, ia amat
terkejut, nira di dalam tabungnya telah habis tak bersisa. Mananamakrdi
sangat kesal. Malam itu ia duduk di pelepah daun kelapa untuk menangkap
pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum datang. Menjelang pagi,
dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar sangat terang mendekati
pohon kelapa tempat Mananamakrdi bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum
seluruh nira. Saat ia hendak lari, Mananamakrdi berhasil menangkapnya.
Makhluk itu meronta-ronta.
“Siapa kamu?”
tanya Mananamakrdi.
“Aku Sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari
hampir menyingsing,” katanya memohon.
“Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,” pinta Mananamakrdi.
“Sabarlah, di
pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan
sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu
buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu,” kata Sampan.
Mananamakrdi kemudian melepaskan Sampan.
Sejak itu
setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan
gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi
seorang diri. Gadis itu tak lain adalah Insoraki, putri kepala suku dari
Kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur. Kulitnya terasa sakit
bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah
bitanggur, dan dilemparnya ke laut.
Bitanggur itu
terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa terganggu.
Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa air dan
mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang hingga Insoraki
merasa jengkel. Ia kemudian pulang.
Beberapa hari
kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai ia ceritakan kepada
orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak percaya. Beberapa bulan kemudian,
Insoraki melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak menangis,
namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta pemberian
nama. Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta itu. Saat
pesta tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki
Mananamakrdi. “Ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian
kemudian terhenti.
Akhirnya,
Isoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung
merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan
membawa semua ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya
Mananamakrdi, Insoraki, dan Konori yang tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi
mengumpulkan kayu kering, kemudian membakarnya. Insoraki dan Konori
heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam
api. Spontan, Insoraki dan Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian
Mananamakrdi keluar dari api itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis.
Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun gembira. Mananamakrdi kemudian
menyebut dirinya Masren Koreri yang berarti pria yang suci. Beberapa lama kemudian, Mananamakrdi
mengheningkan cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian
mengajak istri dan anaknya berlayar sampai di Mandori, dekat Manokwari.
Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah
berbukit-bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi.
Tampak pegunungan yang amat cantik. Tak lama kemudian matahari bersinar
terang, udara menjadi panas, dan kabut pun lenyap.
“Ayah ...
Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.
“Hai, Anakku,
jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata Mananamakrdi.
“Iya, Ayah.
Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi, pemandangan di
sini indah sekali,” kata Konori.
Konon, sejak
saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut yang membiru,
pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan burung cendrawasih
yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.
Legenda Batu Keramat
Batu Keramat terletak di atas Gunung
Kamboi Rama, Kabupaten Kepulauan Yapen, papua barat Indonesia. Setiap setahun
sekali, masyarakat setempat mengadakan upacara pemujaan terhadap batu keramat
itu. Mengapa mereka mengeramatkan dan memuja batu itu? Siapakah yang pertama
kali menemukannya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Batu
Keramat berikut.
* * *
Alkisah, di daerah Yapen
Timur, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, Indonesia, terdapat sebuah gunung
bernama Kamboi Rama. Di atas gunung itu terdapat dua dusun, yaitu Dusun Kamboi
Rama yang dihuni oleh sekelompok manusia, dan Dusun Aroempi yang ditumbuhi
tanaman sagu milik seorang raja tanah yang bergelar Dewa Iriwonawani. Dewa
Iriwonawani juga memiliki sebuah tifah atau gendang gaib yang diberi
nama sikerei atau soworoi. Jika gendang itu berbunyi, para
penduduk Dusun Kamboi Rama berkumpul di Dusun Aroempi untuk menyaksikan gendang
itu. Namun, tidak semua penduduk dapat melihat gendang gaib itu, kecuali
orang-orang tua yang memiliki kekuatan gaib.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
penduduk Kamboi Rama, kaum perempuan mencari sagu di Dusun Aroempi milik Dewa
Irowonawani, sedangkan kaum laki-laki mencari lauk sagu dengan cara menangkap
hewan di hutan. Setiap hari, perempuan Kamboi Rama secara berombongan berangkat
ke Dusun Aroempi untuk mencari sagu. Sebelum menebang pohon sagu, terlebih
dahulu mereka mengadakan upacara penghormatan kepada Dewa Irowonawani agar mereka
bisa memperoleh inti atau sari sagu yang bagus dan dapat menyehatkan tubuh.
Pohon sagu yang sudah ditebang
mereka kuliti batangnya untuk mendapatkan sagu yang berada di dalamnya. Sagu
tersebut mereka tumbuk dengan menggunakan pangkur[1].
Sesuai dengan nama alat yang digunakan, proses menumbuk sagu ini dikenal
dengan istilah memangkur. Sagu yang telah ditumbuk menghasilkan ampas
sagu, yaitu mirip dengan ampas kelapa. Kemudian, ampas sagu tersebut mereka
beri air lalu memerasnya ke dalam wadah dari belahan bambu. Air perasan
tersebut mereka biarkan beberapa saat agar inti sagu mengendap di dasar wadah.
Setelah inti sagu mengendap, merekap pun membuang airnya. Kemudian, endapan
inti sagu tersebut mereka bentuk seperti bola tenis atau memanjang seperti lontong,
lalu menyimpannya ke dalam tumang, yaitu keranjang yang terbuat dari
rotan. Setelah itu, mereka membawanya pulang dengan cara menggendongnya di
punggung. Begitulah pekerjaan kaum perempuan penduduk Dusun Kamboi Rama setiap
hari.
Lama-kelamaan pohon sagu di Dusun
Kamboi Rama semakin berkurang. Melihat keadaan itu, Dewa Iriwonawani pun murka.
Ia memindahkan tanaman sagunya ke daerah lain. Karena takut mendapat murka dari
Dewa Iriwonawani, penduduk Dusun Kamboi Rama memutuskan pindah ke daerah pantai
dan mendirikan tempat tinggal baru yang diberi nama Randuayaivi. Terkecuali
sepasang suami-istri yang masih tetap tinggal di atas gunung tersebut bersama
Dewa Iriwonawai. Sepasang suami-istri tersebut bernama Irimiami dan Isoray.
Untuk bertahan hidup, mereka berburu rusa di hutan dan menanam umbi-umbian di
ladang.
Pada suatu hari, sepulang dari
ladang, Irimiami dan Isoray sedang beristirahat di bawah sebuah pohon yang
rimbun. Irimiami duduk sambil menyandarkan tubuhnya pada batang pohon,
sedangkan Isoray duduk di atas sebuah batu besar yang berada di bawah pohon
itu. Di tengah asyik beristirahat, tiba-tiba Isoray berteriak memekik dan
melompat dari batu itu.
“Aduh, Kakak..! Panas... panas...
panas...!” pekik Isoray sambil mengusap-usap bokongnya.
“Apa yang terjadi denganmu,
istriku?” tanya Irimiami.
“Entahlah, Kakak! Tiba-tiba batu itu
menjadi panas,” jawab Isoray dalam keadaan panik.
Beberapa saat kemudian, batu itu
tiba-tiba mengeluarkan kepulan asap. Karena penasaran, Irimiami pun mencoba
duduk di atas batu. Begitu menduduki batu itu, ia pun berteriak memekik sama
seperti istrinya. Ia semakin penasaran ingin mencoba tingkat kepanasan batu
itu. Ia mengambil daging rusa hasil buruannya dan meletakkannya di atas batu
itu. Tak berapa lama kemudian, terciumlah aroma daging rusa yang mengundang
selera makan. Setelah matang, mereka pun segera mengangkat dan mencicipi daging
rusa itu.
“Hmmmm... lezatnya daging rusa ini,”
gumam Irimiami setelah mencicipi sepotong daging rusa itu.
“Istriku! Coba rasakan daging rusa
ini!” seru Irimiami seraya memberi sepotong daging rusa kepada istrinya.
Setelah habis mencicipi sepotong
daging rusa itu, Isoray pun ketagihan. Karena lapar setelah hampir seharian
berburu, mereka pun menyantap daging rusa itu dengan lahapnya hingga habis. Sejak
itu, mereka selalu memasak makanan dengan cara meletakkannya di atas batu itu.
Semakin hari batu itu semakin banyak mengeluarkan asap panas. Oleh karena itu,
Irimiami dan istrinya semakin penasaran ingin selalu mencoba tingkat kepanasan
batu itu.
Irimiami dan istrinya mengambil
sebatang bambu, lalu menggosokkannya pada batu itu. Dalam waktu singkat, bambu
itu terputus dan gosokan pada bambu itu mengeluarkan percikan api. Setelah itu,
mereka mengumpulkan rumput dan daun kering, lalu meletakkannya di atas batu
itu. Tak berapa lama kemudian, rumput dan daun itu mengeluarkan gumpalan asap
tebal dan panas.
Pada suatu siang yang sangat terik,
Irimiami dan istrinya kembali mengumpulkan rumput dan daun kering yang lebih
banyak lagi. Rumput dan daun kering tersebut mereka letakkan di atas batu itu.
Tak berapa lama mereka menunggu, rumput dan daun kering tersebut terbakar
hingga mengeluarkan api yang sangat panas. Melihat kejadian itu, mereka panik
dan ketakutan, terutama Isoray.
“Kakak! Apa yang harus kita lakukan?
Aku takut terjadi kebakaran di tempat ini,” kata Isoray dengan panik.
Irimiami dan istrinya berusaha untuk
memadamkan api di atas batu itu, namun tidak berhasil. Akhirnya, mereka pun
segera memohon bantuan kepada Dewa Iriwonawai. Dengan kesaktiannya, Dewa
Iriwonawai berhasil memamdamkan api itu. Rupanya, kejadian tersebut tidak
membuat Irimiami dan istrinya jera. Mereka terus melakukan percobaan terhadap
batu itu. Mereka kembali meletakkan rumput, daun, dan kayu kering yang lebih
banyak lagi di atas batu itu. Tak pelak lagi, asap tebal pun mengepul dan api
menyala sangat besar dan panas di puncak Gunung Kamboi Rama selama tujuh hari
tujuh malam. Mereka kembali panik dan ketakutan. Tak henti-hentinya mereka
memohon kepada Dewa Iriwonawai agar memadamkan api tersebut.
Para penduduk Randuayaivi yang
berada di pantai pun terkejut ketika menyaksikan kejadian itu. Mereka mengira
terjadi kebakaran hutan di atas Gunung Kamboi Rama. Ketika mendengar gendang soworai
berbunyi, mereka pun segera berlari menuju ke Gunung Kamboi Rama untuk
menyaksikan peristiwa tersebut lebih dekat. Setibanya di atas gunung itu,
mereka disambut oleh Irimiami dan Isoray. Irimiami pun menceritakan tentang
keajaiban batu itu kepada mereka. Mulanya, para penduduk tidak percaya pada cerita
itu. Namun setelah Irimiami dan istrinya menyuruh mereka mencicipi makanan yang
telah dipanaskan di atas batu itu, barulah mereka percaya. Sejak itulah,
Irimiami dan istrinya menamai batu itu Batu Keramat dan mengajak para penduduk
untuk mengadakan pesta adat. Penduduk Randuayaivi pun setuju.
Keesokan harinya, penduduk Kampung
Randuayaivi berkumpul di atas Gunung Kamboi Rama untuk mengadakan pesta. Mereka
membawa perbekalan seperti keladi, ikan, dan makanan lainnya. Berbagai jenis
makanan tersebut mereka letakkan di atas batu keramat. Pesta adat tersebut
berlangsung selama tiga hari tiga malam. Irimiami bersama istri dan seluruh
penduduk mengelilingi batu keramat itu sambil menari dan memujanya. Selama
pesta berlangsung, Irimiami dan istrinya juga menceritakan berbagai peristiwa
yang pernah mereka alami kepada seluruh penduduk Kampung Randuayaivi. Hingga
saat ini, masyarakat Papua, khususnya yang berada di Kabupaten Kepulauan Yapen,
mengeramatkan batu api itu. Mereka percaya bahwa Irimiami dan Isoray adalah
orang pertama yang menemukannya. Setahun sekali, mereka mengadakan upacara
pemujaan terhadap batu keramat itu.
Asal Mula Kerang Di Nimboran
Nimboran merupakan sebuah kampung di
daerah pedalama papua Indonesia, yang terkenal memiliki banyak kerang laut.
Menurut cerita, keberadaan kerang-kerang laut di Kampung Nimboran disebabkan
oleh suatu peristiwa ajaib. Peristiwa apakah yang menyebabkan keberadaan
kerang-kerang laut tersebut di Kampung Nimboran? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal
Mula Kerang di Nimboran berikut ini!
* * *
Alkisah, di Desa Congwei, di
daerah pantai utara Papua, hiduplah seorang pemuda bernama Wei. Masyarakat
sekitar memanggilnya Tangi, yaitu seekor ular jadi-jadian. Jika siang hari ia berwujud
ular besar, dan pada malam harinya berwujud manusia. Ia dapat berbicara serta
makan dan minum layaknya manusia biasa.
Menurut cerita, Wei datang dari
langit menuju ke bumi melalui sebuah pohon yang disebut Ganemu, yaitu
sejenis pohon yang buahnya enak dimakan. Ia tinggal di dalam sebuah gua yang
menghadap ke laut dan membelakangi bukit di dekat pohon Ganemu tersebut.
Ia memilih tinggal di gua itu agar mudah mencari ikan dan terlindung dari udara
dingin pada malam hari. Di samping itu, ia juga tidak terganggu oleh orang
lain. Di dalam gua itu, ia tinggal bersama seorang nenek yang senantiasa
membantu mengurus segala keperluan hidupnya.
Ketika turun dari langit, Wei
membawa bibit tanaman seperti kelapa, pisang, dan biji sagu untuk
dikembangbiakkkan di bumi. Selain itu, ia juga membawa biji pohon ajaib yang
bernama Rawa Tawa Pisoya, yaitu sejenis pohon yang dapat berbuah kerang
berharga yang nilainya sama dengan uang. Semua bibit tanaman tersebut ia tanam
di sekitar tempat tinggalnya, sedangkan biji pohon ajaib itu ia tanam di dalam
gua. Ketika pohon ajaib itu telah berbuah, Wei memamagari dan menutupinya
dengan tikar agar buahnya tidak dimakan burung.
Pada suatu hari, Wei pulang dari
berburu ikan di pantai. Saat itu, ia sedang berwujud ular. Ia sangat terkejut
ketika merayap hendak memeriksa pohon ajaibnya. Ia mendapati beberapa buah Rawa
Tawa Pisoya yang masih muda berserakan di bawah pohon.
“Hei, siapa yang memetik buah pohon
ajaibku?” gumamnya.
Betapa terkejutnya ia ketika menoleh
ke atas pohon ajaib itu. Ia melihat dua orang gadis sedang asyik memetik buah
yang sudah masak dan makan sepuasnya, dan membuang buah yang masih muda.
Rupanya, kedua gadis itu kakak beradik, yaitu Lermoin (sulung) dan Yarmoin
(bungsu). Wei tidak mau mengusik mereka, karena ia tahu mereka akan turun
sendiri dari pohon itu.
“Ah, pasti mereka akan turun jika
sudah puas dan kenyang,” ucap Wei sambil mengawasi mereka dari bawah pohon.
Saat sedang asyik menikmati buah
ajaib itu, Yarmoin melihat ke bawah pohon. Ia baru sadar jika ada seekor ular
besar sedang memperhatikan tindak-tanduk mereka.
“Kakak, lihatlah ke bawah! Ada ular
besar yang mengawasi kita!” seru Yarmoin.
Ketika Lermoin melihat ke bawah,
tiba-tiba ular besar itu berbicara.
“Tenanglah, wahai gadis-gadis
cantik! Aku tidak akan memangsa kalian,” kata Wei.
Betapa terkejutnya kedua gadis
kakak-beradik itu. Mereka tidak pernah mengira sebelumnya, jika ular besar itu
dapat berbicara seperti manusia.
“Hai, Kak! Rupanya ular itu bisa
berbicara seperti kita. Sepertinya dia baik hati,” kata Yarmoin.
Setelah puas makan buah ajaib itu,
Lermoin dan Yarmoin segera turun dari pohon dan menghampiri ular besar itu.
“Aku Yarmoin dan ini kakakku,
Lermoin. Kami berasal dari daerah Danau Sentani. Kamu siapa dan di mana tempat
tinggalmu, hai ular besar?” tanya Yarmoin usai memperkenalkan diri mereka.
Wei pun memperkenalkan diri seraya
menceritakan asal-usulnya. Setelah itu, Wei mengajak Lermoin dan Yarmoin
ke tempat tinggalnya. Betapa terkejutnya kedua gadis itu setelah masuk ke dalam
gua tempat tinggal Wei. Mereka melihat ruangan di dalam gua itu cukup lebar dan
penataan ruangnya tidak jauh beda dengan rumah manusia. Di dalamnya terdapat
ruang makan, kamar tidur, dan ruang dapur. Di ruang dapur terlihat banyak
perlengkapan memasak yang ditata secara rapi. Melihat keadaan itu, kedua gadis
tersebut baru menyadari bahwa Wei bukanlah ular biasa.
“Hai, Wei! Siapa yang menata ruangan
di dalam gua ini?” tanya Yarmoin.
“Aku bersama nenekku,” jawab Wei.
“Jika kalian senang, kalian boleh tinggal di sini.”
Lermoin dan Yarmoin pun
menerima ajakan Wei. Sejak itu, kedua gadis tersebut tinggal di dalam gua
itu untuk sementara waktu. Yarmoin merasa senang dan selalu menunjukkan sikap
yang ramah. Lain halnya dengan Lermoin , ia selalu menunjukkan sikap curiga
terhadap Wei.
Pada suatu sore, ketika Wei hendak
mencari ikan di laut, Lermoin mengikutinya dari belakang secara
diam-diam. Di depan mulut gua, Wei melepas dan menyimpan kulit ularnya di balik
sebuah batu besar, dan seketika itu pula ia menjelma menjadi seorang pemuda
tampan. Betapa terkejutnya Lermoin melihat peristiwa ajaib itu. Begitu
Wei pergi ke laut, Lermoin segera mengambil kulit ular itu, lalu
menyembunyikannya di tempat lain.
Saat kembali dari laut, Wei pun
kebingungan mencari pakaian ularnya. Ia sudah berusaha mencari ke mana-mana,
namun tidak juga ditemukannya. Sejak itu, Wei berwujud manusia. Sifat dan
perilakunya pun berubah. Ia menjadi pendiam dan merasa tidak betah lagi tinggal
di dalam gua itu. Akhirnya, ia mengajak Lermoin dan Yarmoin dan neneknya
untuk membangun rumah di dekat pohon Ganemu yang berada di luar gua.
Sejak itu pula, kegemaran Wei juga berubah. Setiap hari ia sibuk mengumpulkan
berbagai jenis serangga untuk dipelihara di dalam sebuah rumah yang disebut karaweri,
yaitu sebuah bangunan khusus sebagai tempat untuk menenangkan hati. Terkadang
seharian penuh ia berada di dalam karaweri itu tanpa menghiraukan
Lermoin dan Yarmoin.
Pada suatu hari, Wei hendak ke hutan
untuk mencari serangga. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada neneknya.
“Nek! Saya mau ke hutan mencari
serangga. Hari ini saya pulang agak terlambat. Tolong awasi kedua gadis itu!
Jangan biarkan mereka mendekati rumah karaweri!” ujar Wei.
“Baik, Wei! Nenek akan mengawasi
mereka,” jawab nenek Wei.
Ketika Wei berangkat ke hutan,
timbullah niat Lermoin ingin mengetahui isi rumah karawei itu. Agar
tidak ketahuan, ia menyuruh adiknya untuk membantu nenek Wei memasak di dapur.
Setelah itu, ia berpamitan kepada nenek Wei dengan alasan ingin pergi ke kebun
mengambil sayuran.
Tanpa curiga sedikit pun, nenek Wei
pun mengizinkannya. Saat Yarmoin dan nenek Wei sedang asyik memasak, secara
diam-diam ia berjalan mengendap-endap mendekati rumah karawei itu.
Kemudian, ia mencoba mengintip ke dalam rumah itu melalui sebuah lubang kecil.
Betapa takjubnya ia ketika menyaksikan sebuah taman yang dipenuhi oleh berbagai
jenis serangga yang berwarna-warni di dalam rumah itu. Ada beragam jenis
kupu-kupu, capung, serta berbagai jenis serangga lainnya. Semuanya di tempatkan
dalam kurungan yang tersusun sangat rapi.
“Wow, indah sekali pemandangan di
dalam rumah ini!” ucap Lermoin dengan takjub.
Melihat pemandangan yang menakjubkan
itu, Lermoin pun semakin penasaran ingin mengetahui isi rumah itu lebih jauh.
Perlahan-lahan, ia membuka pintu rumah karawei itu, lalu masuk ke
dalamnya. Saat melihat jenis kupu-kupu yang bersayap tiga warna, ia pun semakin
tidak tahan ingin memegangnya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kurungan kupu-kupu
itu. Begitu kurungan itu terbuka, kupu-kupu tersebut beterbangan dan
berhamburan keluar. Lermoin pun menjadi panik dan ketakutan. Ia berlari keluar
dari rumah itu sambil berteriak meminta tolong.
“Tolong... tolong... tolong...
Kupu-kupunya kabur semua!” teriak Lermoin .
Mendengar teriakan itu, Yarmoin dan
nenek Wei pun segera datang untuk menolongnya. Namun, mereka tidak dapat
berbuat apa-apa, karena kupu-kupu tersebut telah terbang jauh. Bahkan banyak di
antaranya yang mati karena tertabrak dan lalu terinjak kaki Lermoin. Lermoin
hanya bisa menangis dan menyesali perbuatannya.
Sementara itu di tempat lain, Wei
yang sedang asyik mencari serangga di hutan merasakan firasat buruk. Wadah
serangganya tiba-tiba penuh dengan bangkai kupu-kupu.
“Waduh, pasti gadis itu telah masuk
ke dalam rumah karawei-ku,” pikirnya.
Wei pun menghentikan pekerjaannya
dan melepaskan semua serangga yang telah ditangkapnya. Dengan perasaan cemas,
ia kemudian bergegas pulang. Betapa sedihnya hati Wei ketika melihat bangkai
kupu-kupu piaraannya banyak berserakan di sekitar rumah karawei. Sambil
meneteskan air mata, ia mengumpulkan bangkai kupu-kupu tersebut lalu
menguburkannya, dan sebagian ia bungkus untuk dibawa masuk ke dalam rumah karawei.
Sejak peristiwa itu, Wei semakin tidak
betah berada di tempat itu. Kakinya terasa panas jika menginjak tanah.
Akhirnya, ia memutuskan untuk pindah ke tempat lain. Ia mencabut pohon ajaibnya
dan mengambil beberapa buah bijinya yang sudah tua. Sebelum berangkat, ia
berpesan kepada neneknya dan kedua gadis itu.
“Jagalah rumah ini! Aku akan pergi
ke Teluk Nubai. Jika kalian dan anak-cucu kalian kelak mendapat kesulitan,
suruhlah mereka datang ke Teluk Nubai, agar persahabatan kita selalu terjalin.
Kita bangun Teluk Nubai bersama-sama,” ujar Wei.
Usai berpesan, berangkatlah Wei
seorang diri menuju ke arah barat. Menurut empunya cerita, Wei berenang
menyusuri pantai menuju Teluk Nubai dengan mengenakan pakaian kulit ikan jenis
hiu. Setelah berhari-hari berenang melewati Hol Thaikang Nafri dan Tabati,
akhirnya ia pun tiba di perairan Teluk Nubai di dekat Pulau Kayu Injau. Karena
kelelahan, ia memutuskan untuk beristirahat di perairan itu. Ketika sedang
asyik beristirahat, tiba-tiba sebuah anak panah melesat begitu cepat dan
menancap di punggungnya.
“Aduh... sakitnya!” teriak Wei
sambil mengerang kesakitan.
Begitu Wei menyembulkan kepalanya di
permukaan air, tiba-tiba sebuah anak panah lagi kembali menancap di kepalanya.
Ia pun semakin mengerang kesakitan. Lama-kelamaan, tubuhnya semakin lemah dan
terapung di permukaan air. Siripnya yang menyerupai sirip ikan hiu itu
berkilauan diterpa sinar matahari. Dengan pandangan yang mulai kabur, ia
melihat sebuah perahu sedang menghampirinya. Ketika perahu itu mendekat,
barulah ia sadar bahwa orang yang telah memanahnya adalah seorang nelayan.
Nelayan itu bernama Sadembaro dari Pulau Kayu Injau. Namun, Wei tidak dapat
berbuat apa-apa, karena tenaganya semakin lemah.
Sadembaro kemudian mengangkat tubuh
Wei naik ke atas perahu. Di atas perahu itu, ia mengamati wajah Wei. Ketika
melihat kedua mata Wei masih berkedip, dengan sigap ia segera mengambil busur
dan anak panahnya, lalu mengarahkannya ke kepala Wei. Mengetahui nyawanya
terancam, Wei pun segera berteriak dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.
“Jangan, Tuan! Jangan panah aku! Aku
bukan ikan hiu!” iba Wei.
Mendengar teriakan Wei, Sadembaro
tersentak kaget. Ia tidak jadi memanah kepala Wei.
`Hai, kamu siapa? Kenapa kamu bisa
berbicara seperti manusia?” tanya Sadembaro.
“Maaf, Tuan! Tolong lepaskan dulu
anak panah yang menancap di tubuhku ini! Biar aku bisa menjawab pertanyaan Tuan
dengan baik,” pinta Wei sambil menahan rasa sakit.
Sadembaro pun membawa tubuh Wei ke
daratan Pulau Kayu Injau, dan segera mencabut anak panah yang menancap di tubuh
Wei, lalu mengobatinya dengan akar-akar kayu yang telah dilumat dengan
dedaunan. Beberapa saat kemudian, luka Wei pun sembuh dan tenaganya kembali
pulih. Perlahan-lahan, ia membuka kulit penutup kepala ikannya, sehingga
tampaklah wajah tampannya. Ia kemudian menceritakan asal-usulnya kepada
Sadembaro.
Setelah itu, Wei kemudian bertanya
kepada Sadembaro.
“Tuan sendiri siapa dan dari mana
asal Tuan?” tanya Wei.
“Aku Sadembaro. Aku tinggal di pulau
ini bersama kakakku yang bernama Sibi,” jawab Sadembaro.
Setelah mendengar cerita Sadembaro,
Wei pun menyampaikan ucapan terima kasih kepadanya karena telah menolongnya.
“Terima kasih atas pertolonganmu,
Sadembaro! Sebagai ucapan terima kasih, aku akan membuatkan kamu sebidang kebun
sagu di daerah ini,” kata Wei.
Sadembaro pun menerima pemberian Wei
dengan senang hati. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Wei berhasil membuat
sebidang kebun sagu dalam waktu sekejap. Wei menamai kebun itu Yachmani.
Setelah itu, ia berpesan agar Sadembaro merawat tanaman sagu tersebut dengan
baik, sehingga hasilnya dapat bermanfaat hingga anak- cucunya kelak.
Usai berpesan, Wei segera mengenakan
kulit ikannya dan berpamitan kepada Sadembaro hendak melanjutkan perjalanan
menuju Nubai. Ketika ia hendak terjun ke laut, Sadembaro segera mencegahnya.
“Wei, jangan pergi dulu! Aku
mempunyai saran untukmu,” cegah Sadembaro.
“Apakah saranmu itu, Sadembaro?”
tanya Wei.
“Sebaiknya kamu tinggal sini saja.
Aku khawatir orang-orang di Nubai akan membunuhmu. Di sebelah barat Pulau Kayu
Injau ini terdapat celah batu. Tempat itu sangat aman untuk berlindung,” ujar
Sadembaro.
Wei pun menerima saran Sadembaro.
Mereka kemudian pergi ke tempat yang diceritakan Sadembaro itu untuk melihat
keadaannya. Ternyata benar, di tempat itu terdapat sebuah celah batu. Wei
segera terjun ke laut untuk memeriksa keadaan tempat itu. Setelah diperiksa,
ternyata celah batu itu sangat sempit, tidak dapat mampu memuat tubuhnya. Oleh
karena itu, Wei memutuskan untuk tetap meninggalkan daerah itu.
“Maafkan aku, Sadembaro! Aku
terpaksa harus pergi. Jika aku tinggal di sini, pasti keluargaku akan
mengetahui keberadaanku. Izinkanlah aku mohon diri,” ucap Wei.
“Jangan pergi, Wei! Tinggallah di
sini, aku akan melindungimu!” seru Sadembaro.
Meskipun Sadembaro telah berusaha
keras mencegahnya, namun Wei bersikeras untuk pergi meninggalkan tempat itu.
Sebelum pergi, ia berpesan kepada Sadembaro agar memberikan sebagian hasil sagu
tersebut kepada kelurganya. Ia juga berpesan kepada Sedambaro, jika memotong
pohon sagu hendaknya jangan sampai dihabisi semua. Tapi, sebaiknya disisakan
satu atau dua batang, kemudian beralih menebang pohon sagu yang lain. Dengan
demikian, tanaman sagu tersebut dapat terus tumbuh dan berkembang biak,
sehingga Sadembaro dan anak-cucunya kelak tidak kekurangan makanan.
Setelah menyampaikan pesan tersebut,
Wei pun berangkat menuju ke arah barat menuju ke Kampung Tarfia. Ia ingin
membantu penduduk kampung itu, karena menurut kabar dari Sadembaro, mereka
sering kelaparan. Saat ia tiba di kampung Tarfia, hari masih sore. Penduduk setempat
masih sibuk mencari ikan di laut. Ia pun mendekati seorang nelayan yang sedang
duduk sendiri di atas perahunya.
“Maaf, Pak Tua! Aku datang untuk
membantu kalian,” kata Wei.
Betapa terkejutnya lelaki tua itu
ketika melihat Wei yang berwujud ikan. Dengan panik, orang tua itu segera
mengambil tombaknya dan mengarahkannya kepada tubuh Wei. Melihat ancaman itu,
Wei hanya tenang-tenang saja.
“Tombaklah aku, Pak Tua! Aku relah
mati demi keselamatan penduduk dari bahaya kelaparan. Bagikan dagingku kepada
semua penduduk! Tapi, kalian jangan makan perut besarku, tapi tanamlah di kebun
belakang rumahmu! Kelak akan tumbuh sebuah pohon ajaib!” ujar Wei.
Nelayan itu kebingungan dan hatinya
masih ragu untuk menancapkan tombaknya ke tubuh Wei. Setelah didesak terus-menerus
oleh Wei, tanpa ragu lagi, akhirnya nelayan itu menombak tubuh Wei
berkali-kali. Wei pun mati seketika. Nelayan itu segera berteriak meminta
bantuan kepada nelayan lainnya untuk membawa tubuh Wei ke daratan. Akhirnya,
para nelayan beramai-ramai mengangkat tubuh Wei naik ke perkampungan. Mereka
memotong-motong daging Wei dan membagikannya kepada seluruh penduduk Tarfia,
sedangkan perut besarnya mereka tanam di kebun sesuai dengan permintaan Wei.
Beberapa tahun kemudian, tumbuhlah
sebatang pohon ajaib yang berbuat sangat lebat. Anehnya, buahnya mengeluarkan
bau busuk seperti bau bangkai ikan. Bau tersebut membuat kepala seluruh
penduduk Tarfia menjadi pusing, bahkan banyak yang muntah-muntah. Karena tidak
tahan mencium bau bangkai yang menyengat itu, akhirnya mereka bersepakat untuk
memindahkan pohon ajaib warisan Wei itu ke tempat lain. Para orang tua yang
memiliki kesaktian segera mencabut pohon ajaib itu dan kemudian melemparkannya
ke Kampung Nimboran di daerah pendalaman. Ajaibnya, buah-buah yang berbau busuk
tersebut pecah berhamburan dan mengeluarkan kerang-kerang kauri, yaitu
alat pembayar yang berharga (senilai uang) di masa itu.
* * *
Cerita di atas memberi gambaran
kepada kita betapa besar kemuliaan hati Wei. Hal ini terlihat pada sikapnya
yang tidak pernah menaruh dendam kepada Lermoin yang telah masuk ke dalam
rumah karawei-nya. Kemuliaan hati Wei juga terlihat pada sifatnya yang
pandai membalas budi dan suka menolong yang membutuhkan. Ia rela mengorbankan
tubuhnya yang berwujud ikan (sejenis hiu) untuk di makan para penduduk Tarfia
yang sedang kelaparan. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat suka menolong ini
sangatlah dijunjung tinggi, sebagaimana dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu
berikut ini.
Peu Mana Meinegaka Sawai
Peu Mana Meinegaka Sawai merupakan bahasa dari daerah Papua yang berarti kabut membawa petaka. Kabut
yang dianggap sering membawa petaka itu berada di puncak Gunung Zega di daerah
Bilai, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua, Indonesia. Menurut kepercayaan
masyarakat setempat, jika kabut itu sewaktu-waktu muncul di puncak gunung
pertanda akan terjadi petaka besar. Bagaimana asal mula kepercayaan itu muncul
pada masyarakat Paniai? Lalu, petaka besar apakah yang akan terjadi jika kabut
itu muncul di puncak Gunung Zega? Ikuti kisahnya dalam cerita Peu Mana
Meinegaka Sawai berikut ini!
* * *
Alkisah, di
daerah Paniai, Papua, terdapat sebuah kampung bernama Bilai. Tidak jauh dari
kampung terdapat sebuah gunung yang berdiri tegak dan tinggi bernama Zega.
Penduduk kampung Bilai percaya bahwa gunung itu ada penghuninya. Apabila
terserang wabah penyakit, mereka meminta sering bantuan kepada penghuni gunung
itu melalui seorang pawang yang diyakini memiliki kesaktian yang tinggi.
Suatu hari,
penduduk Bilai ingin mengetahui dan melihat langsung wujud penunggu gunung itu.
Oleh karena rasa penasaran tersebut, para penduduk mengundang seorang pawang
untuk bermusyawarah di Balai Desa.
“Maaf, Pawang!
Kami mengundang sang pawang untuk berkumpul di tempat ini atas permintaan
seluruh warga,” ungkap tetua kampung membuka musyawarah itu.
“Kalau boleh
saya tahu, ada apa gerangan?” tanya sang pawang penasaran.
Tetua kampung
kemudian menjelaskan mengenai maksud mereka. Setelah mendengar penjelasan
tersebut, sang pawang pun dapat memahami keinginan seluruh warga.
“Baiklah kalau
begitu. Saya akan mengantar kalian menuju ke puncak Gunung Zega. Saya pun
merasa penasaran ingin mengetahui siapa sebenarnya penghuni Gunung Zega itu.
Selama ini saya selalu meminta bantuan kepadanya, tetapi belum pernah bertemu
secara langsung,” ungkap sang pawang.
Keesokan hari,
para penduduk dari kaum laki-laki berangkat bersama sang pawang menuju ke
puncak Gunung Zega dengan membawa senjata berupa tombak. Perjalanan yang mereka
lalui cukup sulit karena harus melewati hutan lebat, menyeberangi sungai, dan
memanjat tebing yang terjal. Meski demikian, mereka berjalan tanpa mengenal
lelah dan pantang menyerah demi menghilangkan rasa penasaran mereka.
Setibanya di
puncak Gunung Zega, para penduduk beristirahat untuk melepaskan lelah. Suasana di
puncak gunung itu sangat dingin dan sunyi mencekam. Yang terdengar hanya
suara-suara binatang dan kicauan burung memecah kesunyian. Saat mereka tengah
asyik beristirahat, tiba-tiba seekor biawak besar melintas tidak jauh dari
tempat mereka beristirahat.
“Hai, lihat!
Makhluk apakah itu?” teriak salah seorang anggota rombongan ketika melihat
biawak itu.
Mendengar
teriakan itu, anggota rombongan lainnya segera beranjak dari tempat duduk
mereka. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat seekor biawak besar berkepala
manusia, kakinya seperti kaki cicak, dan berkulit keras seperti kulit biawak.
Dengan tombak di tangan, mereka kemudian mengepung biawak itu.
“Ayo kita
habisi saja makhluk aneh itu!” seru seorang warga.
“Tenang
saudara-saudara! Kita tidak perlu gegabah. Saya yakin, makhluk inilah penghuni
gunung ini,” kata sang pawang.
“Lalu, apa yang
harus kita lakukan terhadap makhluk ini?” tanya seorang warga.
“Sebaiknya kita
tangkap saja biawak ini,” ujar sang pawang.
Akhirnya para
penduduk bersepakat untuk menangkap biawak itu dan membawanya pulang ke
kampung. Setiba di kampung, biawak berkepala manusia itu menjadi tontonan
seluruh warga. Mereka sangat heran melihat wujud makhluk itu. Kaum lelaki
segera membuatkan kandang biawak itu untuk dipelihara. Jika suatu ketika mereka
mendapat musibah, mereka dengan mudah meminta bantuan kepada biawak yang
diyakini sebagai penghuni Gunung Zega itu.
Tanpa mereka
duga, ternyata biawak itu dapat berbicara layaknya manusia.
“Wahai seluruh
penduduk kampung ini! Saya berjanji akan memenuhi segala keinginan kalian
tetapi dengan satu syarat,” kata biawak itu.
“Apakah
syaratmu itu wahai biawak?” tanya sang pawang.
“Kalian harus
memberikan saya satu kepala suku atau kepala kepala perang sebagai tumbal,”
pinta biawak itu.
Para penduduk
pun tergiur mendengar janji biawak itu. Setiap penduduk menginginkan harta
benda. Untuk itulah, mereka berlomba-lomba mencari satu kepala suku atau kepala
perang untuk diserahkan kepada biawak itu. Perang antarsuku pun tak
terhindarkan sehingga banyak kepala perang dan kepala suku yang menjadi korban.
Lama-kelamaan,
kaum lelaki di daerah itu semakin hari semakin berkurang. Setelah melihat
akibat dari menuruti permintaan biawak itu, para penduduk menjadi sadar.
Akhirnya mereka bersepakat untuk membinasakan biawak itu agar tidak ada lagi
warga yang menjadi korban. Mereka pun menombak biawak itu hingga tewas. Sebelum
menghembuskan nafas terakhir, biawak itu sempat menyampaikan sebuah pesan
kepada warga.
“Jika ada kabut
yang muncul di puncak Gunung Zega, maka itu pertanda akan terjadi perang.”
Sejak itulah,
penduduk Bilai percaya bahwa kabut di puncak Gunung Zega adalah kabut pembawa
petaka.
Biwar Sang
Panakluk Naga
Biwar adalah seorang pemuda tampan dan gagah perkasa
dari daerah Mimika, Papua, Indonesia. Ketika ia masih dalam kandungan, ayahnya
tewas diserang oleh seekor naga saat mengarungi sebuah sungai di daerah
Tamanipia. Oleh karenanya, sejak lahir ia dirawat dan dididik oleh ibunya
seorang diri dengan dibekali berbagai ilmu pengetahuan. Setelah dewasa, Biwar
bermaksud untuk membinasakan naga yang telah melenyapkan nyawa ayahnya.
Bagaimana cara Biwar membinasakan naga yang ganas itu? Ikuti kisahnya dalam
cerita Biwar Sang Penakluk Naga berikut ini!
* * *
Alkisah, di daerah Mimika, Papua, terdapat sebuah
kampung yang dihuni oleh sekelompok suku Mimika. Mata pencaharian penduduk
tersebut adalah memangkur sagu yang telah diwarisi secara turun-temurun dari
nenek moyang mereka. Setiap hari, baik kaum laki-laki maupun perempuan,
memangkur sagu di sepanjang aliran sungai di daerah itu.
Suatu hari, beberapa orang dari penduduk kampung
tersebut hendak mencari sagu dengan menggunakan perahu. Selain membawa alat
berupa kapak dan pangkur,[1] mereka juga membawa bekal berupa makanan dan
minuman karena kegiatan memangkur sagu tersebut memerlukan waktu sekitar dua
sampai tiga hari.
Setelah beberapa lama melayari sungai, tibalah mereka
di suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon sagu. Dengan penuh semangat, kaum
laki-laki mulai menebang pohon sagu yang sudah bisa diambil sari patinya.
Setelah rebah, pohon sagu itu mereka kuliti untuk mendapatkan hati sagu yang
berada di dalamnya. Kemudian hati dari pohon itu mereka tumbuk hingga menyerupai
ampas kelapa dengan menggunakan pangkur. Hasil tumbukan itulah yang disebut
dengan sagu. Selanjutnya, sagu tersebut mereka kumpulkan pada sebuah wadah
bambu yang sudah dibelah, lalu mencampurinya dengan air.
Setelah itu, kaum perempuan segera memeras sagu itu.
Air perasan inilah yang mengandung sari pati sagu. Untuk mendapatkan sari pati
tersebut, air perasan mereka biarkan beberapa saat hingga sari patinya
mengendap di dasar wadah bambu. Setelah air perasan berubah dari warna putih
menjadi jernih, air yang jernih tersebut mereka buang hingga yang tersisa
hanyalah endapan inti sagu. Inti sagu itu kemudian mereka bentuk seperti bola
tenis atau memanjang seperti lontong. Selanjutnya, sagu-sagu yang sudah siap
dimasak tersebut mereka masukkan ke dalam wadah yang disebut dengan tumang,
yaitu keranjang yang terbuat dari rotan.
Setelah menaikkan semua tumang yang berisi sagu
tersebut ke atas perahu, rombongan itu pun berlayar menyusuri sungai untuk
kembali ke perkampungan. Saat perahu yang mereka tumpangi melewati sungai di
daerah Tamanapia, tiba-tiba seeokar naga muncul dari dalam air dan langsung
menyerang mereka. Hanya sekali kibas, ekor naga itu mampu menghancurkan perahu
itu hingga berkeping-keping. Tak ayal, seluruh penumpangnya terlempar dan tenggelam
di sungai, kecuali seorang perempuan yang sedang hamil dapat menyelamatkan
diri.
Kebetulan perempuan hamil mampu meraih salah satu
kepingan perahu yang telah hancur saat ia terlempar ke sungai. Kepingan perahu
itulah kemudian ia jadikan sebagai pelampung hingga dapat sampai ke tepi sungai
dan melarikan diri masuk dalam hutan. Untuk berlindung dari binatang buas,
perempuan hamil itu tinggal di dalam sebuah gua yang ia temukan dalam hutan
tersebut. Dalam keadaan hamil tua, perempuan yang malang itu berusaha mencari
daun-daun muda dan umbi-umbian untuk bisa bertahan hidup.
Suatu hari, dengan susah payah perempuan itu berjuang
melahirkan seorang diri. Atas kuasa Tuhan, ia berhasil melahirkan seorang bayi
laki-laki yang tampan dan diberinya nama Biwar. Kini, perempuan itu tidak lagi
kesepian tinggal di tengah hutan tersebut. Ia pun merawat dan membesarkan Biwar
dengan penuh kasih sayang. Saat Biwar tumbuh menjadi remaja, ia mengajarinya
berbagai ilmu seperti cara memanah, menangkap binatang, dan membuat api. Selain
itu, ia juga mengajari Biwar bermain tifa[2]
hingga mahir memainkan alat musik tersebut.
Beberapa tahun kemudian, Biwar telah tumbuh menjadi
pemuda yang tampan, kuat, dan gagah perkasa. Setiap hari ia membantu ibunya
mencari lauk dengan cara memancing ikan di sungai. Ia juga membantu ibunya
membuat sebuah rumah sederhana yang disebut dengan honai, yaitu rumah
adat masyarakat Papua yang terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut dari
jerami atau ilalang.
Suatu hari, Biwar baru saja pulang dari memancing di
sungai dengan membawa beberapa ekor ikan besar. Setiba di depan rumahnya, ia
meletakkan ikan hasil tangkapannya itu di tanah seraya berteriak memanggil
ibunya.
“Mama[3]..., Mama..., keluarlah lihat!
Biwar membawa ikan yang besar-besar,” teriak Biwar.
Mendengar teriakan itu, ibunya pun keluar dari dalam
rumah seraya bertanya, “Dari mana kamu dapatkan ikan itu, Anakku?”
“Tadi Biwar memancingnya di sebuah sungai yang dalam.
Sungai itu banyak sekali ikannya dan pemandangan di sekitarnya amat indah,”
ungkap Biwar, “Jika Mama ingin melihatnya, besok Biwar akan tunjukkan
tempat itu.”
Sang ibu menerima ajakan Biwar. Keesokan hari,
berangkatlah mereka ke sungai yang dimaksud. Alangkah terkejutnya ibu Biwar
saat tiba di sungai itu. Ia langsung teringat kepada almarhum suaminya.
“Biwar, Anakku! Ketahuilah, ayahmu beserta keluarga
dan teman-taman Mama tewas di sungai itu karena diserang oleh seekor
naga!” ungkap sang ibu mengenang masa lalunya yang amat memilukan hati.
Mendengar kisah sedih ibunya, Biwar bertekad untuk
membinasakan naga itu. Namun, sang ibu mencegahnya.
“Tapi, Biwar! Naga itu sangat ganas,” cegah ibunya.
“Tidak Mama. Bukankah Mama telah mengajarkan
Biwar berbagai ilmu? Dengan ilmu itulah Biwar akan membinasakan naga yang
menghilangkan nyawa Papa,” tegas Biwar.
Sang ibu tidak mampu membendung tekad keras Biwar.
Sebelum melaksanakan tekadnya, Biwar bersama ibunya pulang ke rumah untuk
menyiapkan semua senjata yang diperlukan. Setelah menyiapkan tombak, golok, dan
panahnya, Biwar pun berpamitan kepada ibunya untuk pergi mencari sarang naga
itu di sekitar sungai.
“Hati-hati, anakku!” ujar mama-nya.
“Baik, Mama,” jawab Biwar seraya meninggalkan
ibunya.
Setiba di tepi sungai, Biwar melihat sebuah gua yang
diduga sebagai tempat persembunyian naga itu.
“Aku yakin naga itu pasti bersembunyi di dalam gua
ini,” gumam Biwar.
Dengan langkah perlahan-lahan, Biwar mendekati gua
itu. Sesampai di depan mulut gua, ia segera mengambil tifa yang
diselipkan di pinggangnya lalu meniupnya untuk memancing naga itu agar keluar
dari dalam gua. Alunan musik tifa yang dimainkan Biwar benar-benar
menarik perhatian sang naga. Tak berapa lama kemudian, terdengarlah suara
gemuruh dari dalam gua.
Mendengar suara itu, maka semakin yakinlah Biwar bahwa
di dalam gua itulah sang naga bersarang. Ia pun segera bersiap-siap dengan
golok di genggamannya untuk berjaga-jaga kalau-kalau naga itu datang
menyerangnya. Ternyata benar, tak lama berselang, kepala naga itu tiba-tiba
muncul di mulut gua. Tanpa berpikir panjang, Biwar segera melemparkan tombaknya
ke arah kepala naga itu dan berhasil melukainya. Meskipun terluka parah, naga
itu masih terlihat ganas. Maka sebelum naga itu menyerangnya, Biwar segera
mencabut golok yang terselip di pinggangnya.
“Terimalah pembalasan dari ayah dan keluargaku yang
telah kau binasakan di sungai ini!” seru Biwar seraya memenggal kepala naga itu
hingga nyaris putus.
Tak ayal, naga itu jatuh terkulai di depan mulut gua.
Melihat hal itu, cepat-cepat Biwar menimbun tubuh naga itu dengan bebatuan.
Setelah memastikan naga itu benar-benar telah mati, ia pun segera pulang ke
rumahnya untuk memberitahukan keberhasilannya membinasakan naga itu kepada
ibunya. Betapa senangnya hati sang ibu mendengar berita gembira tersebut.
“Naga telah menerima hukumannya. Kini hati Mama
sudah lega,” ucap ibunya, “Segeralah buat perahu anakku lalu kita kembali ke
perkampungan!”
Keesokan harinya, Biwar pun membuat sebuah perahu
kecil yang cukup ditumpangi mereka berdua. Dalam beberapa hari, perahu itu pun
selesai dibuatnya dan siap untuk digunakan. Akhirnya, dengan perahu itu, Biwar
bersama ibunya berlayar mengarungi sungai menuju ke tanah kelahiran ibunya.
Setiba di perkampungan, mereka pun disambut dengan gembira oleh penduduk
setempat. Untuk merayakan keberhasilan Biwar sebagai pahlawan yang telah
menaklukkan naga itu, mereka mengadakan pesta yang meriah.
Meraksamana
Meraksamana
adalah seorang pemuda yang tinggal di pedalaman Papua. Ia mempunyai saudara
bernama Siraiman. Ke mana pun pergi, mereka selalu bersama dan selalu saling
membantu. Suatu ketika, Meraksamana memperistri seorang bidadari dari
kahyangan. Namun, tidak berapa lama setelah mereka menikah, istrinya diculik
oleh seorang raja yang tinggal di seberang laut bernama Raja Koranobini.
Mampukah Meraksamana merebut kembali istrinya dari tangan Koranobini? Ikuti
kisahnya dalam cerita Meraksamana berikut ini!
* * *
Dahulu, di
sebuah kampung di pedalaman Papua, hiduplah dua pemuda yang bernama Meraksamana
dan Siraiman. Sehari-hari mereka mencari kayu, berburu, dan mencari ikan di
rawa maupun di sungai. Mereka, dan juga penduduk kampung lainnya melakoni
pekerjaan tersebut karena memang daerah di sekitar mereka memiliki kekayaan
sumber daya alam yang melimpah.
Suatu malam,
Meraksamana terlihat sedang berbaring berbaring di lantai rumahnya yang
beralaskan daun-daun kering. Badannya terasa lelah setelah seharian bekerja.
Pemuda itu tidak kuat lagi menahan rasa kantuk hingga akhirnya terlelap. Selang
beberapa saat kemudian, Meraksamana tiba-tiba terbangun dan mengusap matanya.
“Oh, aku baru
saja bermimpi melihat puluhan bidadari sedang mandi di telaga,” gumamnya.
Meraksamana
merasa mimpi itu seperti nyata. Karena penasaran, malam itu juga ia segera
menuju ke telaga yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Di bawah temaram
cahaya bulan, ia berjalan menyusuri jalan setapak menuju telaga. Alangkah
terkejutnya ia saat tiba di tempat itu, ia melihat sepuluh bidadari dari
kahyangan sedang mandi sambil bersenda-gurau di tengah-tengah telaga. Ia pun
segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar dan mengawasi gerak-gerik para
bidadari tersebut dari balik pohon.
“Ternyata, mimpiku
benar-benar menjadi kenyataan,” kata Meraksamana, “Bidadari-bidadari itu
sungguh cantik dan mempesona.”
Meraksamana
terpesona melihat kecantikan para bidadari itu. Saat asyik mengintip, ia
dikejutkan oleh kehadiran seorang perempuan tua yang tiba-tiba berdiri di
dekatnya. Ia tidak tahu dari mana datangnya nenek itu.
“Hai, anak
muda! Sedang apa kamu di sini?” tanya nenek itu.
“Sa... sa...
saya sedang mengawasi bidadari-bidadari itu, Nek,” jawab Meraksamana dengan
gugup.
Nenek itu
tersenyum, lalu berpesan kepada Meraksamana.
“Jika ingin
memperistri mereka, sebaiknya kamu ambil pakaian mereka yang diletakkan di atas
batu besar sana!” ujar nenek itu sambil menunjuk ke tempat di mana pakaian para
bidadari itu diletakkan, “Mereka pasti tidak akan bisa terbang kembali ke
negerinya.”
“Baik, Nek,”
jawab Meraksamana.
Dengan
mengendap-endap, pemuda itu mendekati batu besar yang terletak di tepi telaga.
Setelah dekat, ia berhenti sejenak dan bersembunyi di balik semak-semak. Begitu
para bidadari itu lengah, dengan cepat Meraksamana menyambar salah satu pakaian
milik bidadari tersebut lalu segera kembali ke tempat persembunyiannya. Ketika
ia sampai di balik pohon besar itu, si Nenek sudah tidak ada. Meraksamana pun
kemudian kembali mengawasi para bidadari tersebut.
Saat fajar
mulai menyingsing di ufuk timur, para bidadari telah selesai mandi dan
bersiap-siap untuk kembali ke kahyangan. Satu per satu mereka mengenakan
pakaian masing-masing. Namun, salah seorang dari mereka tampak kebingungan
mencari pakaiannya.
“Kak, apakah
kalian melihat pakaianku?” tanya bidadari itu.
“Memang kamu
letakkan di mana pakaianmu, Bungsu?” bidadari yang sulung balik bertanya.
“Tadi aku
meletakkannya di dekat pakaian kalian,” jawab bidadari bungsu.
Rupanya,
bidadari yang kehilangan pakaian itu adalah si Bungsu. Ia dan kakak-kakaknya
sudah mencarinya ke mana-mana, tapi belum juga ditemukan. Akhirnya, si Bungsu
ditinggalkan oleh kakak-kakaknya karena hari sudah hampir pagi.
“Kakak, kenapa
kalian meninggalkan aku sendirian di sini. Aku takut sekali,” ratap si Bungsu.
Melihat
bidadari Bungsu itu bersedih, Meraksamana segera menghampiri dan menghiburnya.
“Hai, gadis
cantik. Kamu siapa dan kenapa menangis?” tanya Meraksamana pura-pura tidak
tahu.
“Aku Bidadari
Bungsu dari kahyangan. Aku tidak dapat pulang bersama kakak-kakakku karena
pakaianku hilang entah ke mana,” jawab si Bungsu.
Meraksamana
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ia pun mengajak Bidadari Bungsu pulang ke
rumahnya. Sejak itu, Bidadari Bungsu tinggal bersama dengan Meraksamana. Selang
beberapa waktu kemudian, pemuda itu mengajaknya menikah. Si Bungsu pun tidak
bisa menolak ajakan itu. Selain karena ia tidak bisa lagi kembali ke negerinya,
hidupnya bergantung pada Meraksamana yang telah menolongnya. Akhirnya, mereka
menikah dan hidup bahagia. Meraksamana pun semakin giat bekerja.
Suatu hari,
Meraksamana terlihat sedang memperbaiki umpan dan kail bersama Siraiman.
Rupanya, mereka hendak pergi memancing ke sungai. Seperti biasanya, sebelum
pergi, ia selalu berpesan kepada istrinya.
“Dinda, jagalah
dirimu baik-baik di rumah,” pesan Meraksamana.
“Baik, Kanda.
Kanda pun sebaiknya berhati-hati di sungai. Kalau sudah mendapatkan ikan yang
banyak, segeralah kembali,” ujar Bidadari Bungsu.
“Baik, Dinda,”
jawab Meraksamana.
Setelah
berpamitan, Meraksamana ditemani Siraiman pun berangkat ke sungai. Hari itu,
mereka sangat beruntung karena ikan-ikan di sungai sedang doyan makan. Setiap
kali mereka melemparkan umpan, ikan-ikan langsung menyambar. Tidak sampai
setengah hari, mereka telah mendapatkan hasil tangkapan yang cukup banyak.
Mereka pun memutuskan untuk pulang. Setiba di rumah, Meraksamana segera
memanggil istrinya.
“Dinda, Kanda
sudah pulang. Cepatlah keluar, Kanda membawa ikan yang banyak sekali!” seru
Meraksamana.
Beberapa kali
Meraksamana memanggil istrinya, namun tak ada jawaban. Ia pun mulai khawatir.
“Siraiman,
kenapa istriku tidak keluar-keluar juga?” tanyanya kepada Siraiman dengan
cemas, “Padahal biasanya, sekali saja aku memanggilnya dia sudah datang
menyambutku.”
“Barangkali istri
kakak sedang tidur” jawab Siraiman dengan santai.
“Tidak mungkin.
Ia tidak pernah tidur sebelum aku pulang,” sanggah Meraksamana.
Meraksamana pun
semakin cemas. Ia segera masuk ke dalam rumah. Namun, istrinya tidak juga
terlihat. Ia kemudian mencarinya di sekitar rumah dan bertanya kepada tetangga,
tapi tak seorang pun yang melihatnya. Akhirnya, ia bersama Siraiman segera
mencarinya ke luar perkampungan. Dalam perjalanan, mereka menemukan seorang
laki-laki sedang tergantung di pohon dengan tangan terikat.
“Hai, kamu
siapa dan kenapa digantung?” tanya Meraksamana.
“Aku Mandinuma
dari Negeri Koranobini yang berada di seberang laut,” jawab laki-laki setengah
baya itu, “Aku dihukum oleh rajaku karena aku suka makan banyak sehingga banyak
merugikan orang lain.”
Meraksamana
kemudian menanyakan perihal istrinya kepada Mandinuma.
“Apakah kamu
melihat seorang wanita lewat di sini?” tanyanya.
“Ya, tadi aku
wanita cantik seperti bidadari lewat di sini. Tapi, ia bersama dengan Raja
Koranobini yang telah menghukumku,” jawab Mandinuma.
“Hai, kenapa
istriku bisa bersama dia?” tanya Meraksamana bingung.
“Ketahuilah,
Meraksamana! Raja Koranobini adalah raja yang bengis dan kejam. Walaupun sudah
mempunyai istri banyak, ia suka mengganggu wanita-wanita cantik dan kemudian
memperistrinya,” jelas Mandinuma, “Aku akan membantu kalian, tapi dengan
syarat lepaskan dulu jeratan tali ini.”
Meraksamana
bersama Siraiman segera melepaskan tali yang menjerat tubuh Mandinuma dan
kemudian menurunkannya dari pohon.
“Terima kasih
karena telah membebaskanku,” ucap Mandinuma, “Sesuai dengan janjiku tadi, maka
aku akan segera membebaskan istrimu dan membawanya kembali ke sini.”
Mandinuma
segera berlari menuju ke laut dan diikuti oleh Meraksamana dan Siraiman. Setiba
di pantai, ia langsung menghirup air laut hingga laut itu menjadi kering. Kedua
orang bersaudara itu hanya terbengong-bengong melihat kesaktian Mandinuma.
“Kalian tunggu
di sini saja,” ujar Mandinuma, “Biar aku sendiri yang menghadapi Raja
Koranobini yang bengis itu dan segera membawa istrimu kemari.”
Mandinuma yang
sakti itu dengan cepat berlari menuju istana Koranobini melewati jalan yang
sudah menjadi daratan. Setiba di istana, ia mendapati Raja Koranobini sedang
tertidur pulas. Tanpa sepengetahuan para penjaga, ia segera mencari keberadaan
Bidadari Bungsu. Tak berapa lama kemudian, ia pun menemukannya sedang menangis
di dalam sebuah kamar.
“Jangan, takut
Putri! Aku Mandinuma, sahabat suamimu. Aku ke mari untuk menyelamatkanmu,” ujar
laki-laki sakti itu.
“Sekarang
suamiku ada di mana?” tanya Bidadari Bungsu.
“Suamimu sedang
menunggumu di seberang lautan sana. Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini!”
ujar Mandinuma seraya menarik tangan istri Meraksamana itu.
Setelah melihat
keadaan sudah aman, keduanya pun segera pergi meninggalkan istana tanpa
sepengetahuan Raja Koranobini. Alhasil, mereka berhasil sampai di seberang
lautan. Meraksamana dan Siraiman pun menyambut kedatangan mereka dengan
gembira. Mandinuma segera memuntahkan semua air laut yang telah dihirupnya
sehingga jalan yang dilaluinya tadi kembali menjadi lautan yang luas.
Meraksamana
tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada Mandinuma yang telah
menyelamatkan wanita yang amat dicintainya itu. Ia pun amat bahagia karena
dapat bertemu kembali dengan istrinya dan hidup seperti biasanya. Namun sayang,
kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Bidadari Bungsu meminta izin kepada
suaminya untuk kembali ke kahyangan karena malu selalu diejek oleh masyarakat
sekitarnya bahwa ia manusia yang tidak dikenal asal-usulnya dan tidak jelas
keturunannya.
Walaupun berat
hati, Meraksamana terpaksa mengizinkannya. Ia tidak ingin melihat istrinya
terus menderita karena setiap hari dihina. Meraksamana pun terpaksa menyerahkan
kembali pakaian istrinya yang disembunyikan di dalam rumahnya. Maka tahulah
Bidadari Bungsu bahwa pakaiannya yang dulu hilang di tepi ternyata
disembunyikan oleh suaminya. Meskipun begitu, ia tidak mempermasalahkannya. Ia
malah berterima kasih kepada Meraksamana yang telah menolongnya selama dirinya
tinggal di bumi.
Setelah
mengenakan pakaiannya, Bidadari Bungsu segera terbang menuju kahyangan.
Meraksamana pun melepas kepergian istrinya dengan hati sedih. Sejak itu,
Bidadari Bungsu itu tidak pernah lagi kembali ke bumi menemui suaminya.
Danau Walait Yang Keramat
Dahulu, di
Lembah Baliem hiduplah sebuah suku yang bernama suku Walait. Lembah Baliem yang
berada di puncak Gunung Jayawijaya ini dikelilingi oleh hamparan hutan lebat.
Di dalam hutan itu banyak terdapat binatang buas, terutama babi hutan. Itulah
sebabnya, sebagian besar warga suku Walait bekerja sebagai pemburu babi hutan.
Sebagian hasil tangkapannya dimakan untuk lauk sehari-sehari, dan sebagian yang
lain untuk diternakkan.
Di antara
penduduk suku Waliat ada seorang gadis bernama Jelita. Ia hanya tinggal bersama
dengan ayahnya karena ibunya telah meninggal dunia. Sehari-harinya, gadis
cantik itu bekerja sebagai penggembala babi, sedangkan sang Ayah pergi ke hutan
untuk mencari kayu, umbi-umbian, dan hasil hutan lainnya.
Sang Ayah
selalu berpesan kepada Jelita agar tidak menggembalakan babi di sekitar Danau
Walait yang berada tidak jauh permukiman penduduk.
“Jelita,
putriku! Jangan sekali-kali kamu menggembalakan babi di sekitar danau itu!”
ujar sang Ayah.
“Baik, Yah,”
jawab si Jelita.
Suatu hari,
Jelita lupa pada pesan ayahnya. Ia membiarkan babinya berkeliaran di sekitar
Danau Walait. Rerumputan di sekitar danau itu memang tumbuh subur dan hijau
karena tak seorang pun yang berani menggembalakan babi di sana. Sambil menunggu
babi peliharaannya merumput, gadis cantik itu duduk berteduh di bawah sebuah
pohon. Tak berapa lama kemudian, babi-babinya tiba-tiba mati bergelimpangan
setelah memakan sesuatu di tepi danau itu. Melihat kejadian tersebut, Jelita
menjadi panik.
“Aduh, Ayah
pasti akan marah sekali jika mengetahui hal ini,” gumam si Jelita.
Dengan perasaan
takut, Jelita pulang ke rumah untuk memberitahukan kejadian itu kepada ayahnya.
Sang Ayah mendengar kabar buruk itu pun menjadi murka.
“Dasar anak
tidak bisa diatur!” hardik sang Ayah, ”Ayah sudah melarangmu menggembala di
sana, tapi kamu tidak mendengar nasehat Ayah. Pergi dari rumah ini!”
“Maafkan
Jelita, Ayah! Jelita benar-benar lupa pada nasehat Ayah. Ampun Ayah, jangan
usir Jelita! Jelita tidak punya siapa-siapa lagi selain Ayah,” rengek Jelita di
hadapan ayahnya.
Meskipun Jelita
sudah merengek-rengek, sang Ayah tetap mengusirnya. Dengan hati yang hancur,
gadis yang malang itu pun pergi meninggalkan rumahnya. Karena bingung harus
pergi ke mana, ia pun memutuskan untuk pergi ke Danau Walait. Di pinggir danau
itu, ia duduk termenung memikirkan nasibnya yang malang.
“Ya, Tuhan! Tak
ada gunanya lagi hamba hidup di dunia ini. Hamba tidak memiliki siapa-siapa
lagi,” keluh gadis itu.
Usai berkata
demikian, Jelita mencebur ke dalam Danau Walait. Atas kuasa Tuhan, ia berubah
menjadi seekor ikan mungil. Sejak itulah, itulah gadis yang telah berbuah
menjadi ikan itu hidup di danau itu.
Sementara itu,
di seberang Danau Walait, tinggal pula sebuah suku bernama Akeima yang dipimpin
oleh Hulogolik. Jumlah wanita di suku Akeima ketika itu masih sedikit sehingga
banyak laki-laki yang belum menikah, termasuk Hulogolik. Suatu ketika,
Hulogolik pergi bertapa di sebuah gua untuk meminta kepada Dewata agar
dianugerahi seorang istri untuk melanjutkan keturunannya. Ketika ia asyik
bersemedi, tiba-tiba ia mendengar suara bisikan di telinganya.
“Wahai,
Hulogolik. Jika kamu mendapatkan istri, usirlah suku Walai yang ada di sekitar
Danau Walait!” seru suara itu.
Hulogolik pun
menuruti pesan gaib itu. Bersama dengan warga sukunya, Hulogolik memerangi suku
Waliat dan berhasil mengusir mereka dari tempat itu. Karena kelelahan, kepala
suku itu beristirahat di bawah sebuah pohon di tepi Danau Walait hingga
terlelap. Dalam lelapnya, ia mendapat perintah dari Dewa agar mencopot kepalanya.
“Wahai,
Hulogolik. Penggallah kepalamu hingga terpisah dari tubuhmu. Setelah itu,
masuklah ke dalam Danau Walait!” seru sang Dewa.
Begitu
terbangun, Hulogolik segera menuruti perintah itu. Dengan tubuh tanpa kepala,
ia segera mencebur ke dalam danau. Ikan-ikan yang ada di dalam danau itu pun
masuk ke dalam tubuhnya hingga penuh. Setelah kembali ke darat, Hulogolik
mengeluarkan semua ikan yang ada di tubuhnya ke rerumputan. Setelah itu, kepala
dan tubuhnya kembali menyatu. Ajaibnya, ikan-ikan tersebut tiba-tiba menjelma
menjadi gadis-gadis yang cantik jelita. Rupanya, ikan-ikan tersebut merupakan
penjelmaan gadis-gadis yang sering hilang di sekitar Danau Walait. Akhirnya,
Hulogolik membawa pulang gadis-gadis itu ke kampungnya untuk dinikahinya dan
juga orang-orang sukunya yang memang banyak yang belum beristri.
Namun, tanpa
sepengetahuan Hulogolik, salah seorang anak buahnya memperhatikan tingkah
lakunya saat ia mencebur ke dalam Danau Walait. Keesokan harinya, warga itu
ingin melakukan seperti yang dilakukan oleh Hulogolik dengan meminta bantuan
kepada roh jahat.
“Baiklah, aku
akan membantumu, tapi dengan syarat kamu harus membujuk Hulogolik untuk kembali
memerangi suku Walait,” ujar roh jahat itu.
Warga itu
menyanggupi persyaratan itu. Alhasil, ia berhasil membujuk kepala sukunya itu
sehingga peperangan antara dua suku pun kembali berkobar. Peperangan itu
memakan banyak korban. Setelah perang tersebut selesai, anak buah Hulogolik itu
mendekati Danau Walait dan melakukan seperti melakukan seperti yang dilakukan
oleh tuannya.
Namun, tanpa ia
sadari pula, ternyata ada seorang warga lain yang mengintipnya dari balik
semak-semak. Begitu ia mencebur ke danau tanpa kepala, warga yang mengintip itu
mengambil kepalanya dan cepat-cepat pergi. Ketika anak buah Hulogolik itu
kembali darat, kepalanya sudah tidak ada. Pada saat itulah, ia tiba-tiba
menjelma menjadi seekor ular raksasa.
Sang Dewa yang
mengetahui peristiwa itu menjadi murka kepada Hulogolik karena lalai mengawasi
warganya.
“Hai,
Hulogolik! Kenapa kamu menyerang suku Walait tanpa melalui perintahku? Karena
kamu telah bertindak sewenang-wenang, maka sebagai hukuman jasadmu kelak tidak
akan membusuk sampai kapan pun,” ujar sang Dewa dalam mimpi Hulogolik.
Alangkah
terkejutnya Hulogolik saat terbangun. Ia baru menyadari bahwa dirinya telah
termakan hasut oleh anak buahnya itu. Namun, apa boleh, buat nasi sudah menjadi
bubur. Hulogolik tinggal menunggu hukuman itu setelah ia mati kelak.
Sementara itu,
isti Hulogolik telah berkumpul kembali dengan keluarganya. Saat mereka
berbincang-bincang, tiba-tiba ada orang yang menyinggung perihal hilangnya
seorang warga di Danau Walait. Ia juga mengakui bahwa dirinyalah yang
memisahkan kepala dan tubuh anak buah Hulogolik itu.
Mendengar
cerita itu, cepat-cepatlah Hulogolik berlari menuju ke Danau Walait. Setiba di
tepi danau, tiba-tiba seekor ular raksasa menyerangnya. Saking cepatnya
serangan ular itu sampai-sampai Hulogolik tidak sempat menghindar. Akhirnya,
kepala suku Akeima itu pun tewas. Tubuhnya pun mengeras dan berwarna hitam.
Karena tak seorang pun warga yang menyaksikan peristiwa itu, jasad Hulogolik
masih terapung-apung di tengah danau itu hingga berhari-hari.
Warga yang
berada di perkampung pun mulai cemas karena kepala suku mereka tidak
pulang-pulang. Istri Hulogolik pun mengerahkan seluruh warga untuk mencarinya
ke Danau Walait. Melihat kedatangan orang-orang, ular naga segera membuat
lubang besar di dasar danau dan bersembunyi di dalamnya. Ia takut keluar karena
itu akan membahayakan dirinya.
Sementara itu,
para warga yang baru tiba di tempat itu dikejutkan oleh sesosok tubuh sedang
terapung-apung di tengah danau.
“Hai lihat,
bukankah itu jasad Hulogolik?” teriak salah seorang warga.
“Iya,
sepertinya benar,” sahut istri Hulogolik.
Beberapa warga
segera berenang ke tengah danau untuk mengambil jasad Hulogolik. Tak berapa
lama kemudian, para warga itu kembali ke darat dengan membopong jasad kepala
suku mereka. Mereka kemudian membawa pulang mayat itu ke perkampungan untuk
disemayamkan di sebuah honay (rumah adat orang Papua). Sungguh ajaib,
mayat honay itu benar-benar tidak pernah membusuk.
Buaya Ajaib Sungai Tami
Dahulu, di
Kampung Sawjatami yang terletak di tepi Sungai Tami, Jayapura, Papua, hiduplah
seorang laki-laki bernama Towjatuwa. Ia tinggal bersama istrinya di sebuah honai
(rumah adat orang Papua). Saat itu, sang istri sedang hamil tua, waktu
kelahirannya tinggal menunggu beberapa hari lagi.
Pada hari yang
telah diperkirakan, sang istri pun telah memperlihatkan tanda-tanda akan
melahirkan. Ia tiba-tiba menggigil tanpa sebab yang jelas, sebagai tanda awal
kelahiran, dan mulai mengalami pendarahan. Namun, sudah berjam-jam darah terus
keluar, sang bayi di dalam rahimnya tak kunjung keluar. Towjatuwa menjadi panik
dan bingung mesti berbuat apa. Maka, pergilah ia ke rumah seorang dukun di
kampung itu.
“Nek, tolong
istri saya,” pinta Towjatuwa, “Ia akan melahirkan.”
“Baiklah, kau
pulanglah dulu, aku segera menyusulmu,” kata nenek sang dukun bayi itu.
Towjatuwa pun
bergegas kembali ke rumahnya. Sementara itu, sang dukun menyiapkan alat
persalinannya, lalu kemudian berangkat ke rumah Towjatuwa. Setiba di sana, ia
mendapati istri Towjatuwa menjerit-jerit kesakitan.
“Nek, tolong
aku. Perutku sakit sekali,” rintih istri Towjatuwa.
“Tenang,
Cucuku,” kata sang dukun.
Nenek dukun itu
pun segera memeriksa kondisi istri Towjatuwa. Towjatuwa terlihat semakin resah,
ia sangat takut jika terjadi apa-apa pada istrinya.
“Bagaimana
keadaannya, Nek? Kenapa istriku belum juga melahirkan?” tanya Towjatuwa.
“Maaf,
Towjatuwa. Sepertinya istrimu mendapat masalah. Bayi di dalam kandungan istrimu
terlalu besar sehingga susah untuk keluar,” kata dukun itu.
“Lalu,
bagaimana cara menolongnya, Nek?” tanya Towjatuwa.
“Aku
membutuhkan rumput air dari Sungai Tami,” jawab nenek dukun.
Towjatuwa
segera berlari menuju Sungai Tami. Setiba di sana, ia pun langsung mencari
rumput air yang dimaksud oleh nenek dukun. Ia sudah mencari ke sana ke mari,
namun rumput air itu belum juga ditemukannya. Ketika ia hendak melanjutkan
pencarian, tiba-tiba terdengar suara mengerang dari arah belakangnya.
“Hai, suara apa
itu!” serunya dengan kaget.
Begitu
Towjatuwa menoleh ke belakang, tampaklah seekor buaya besar di belakangnya.
Anehnya, punggung buaya itu ditumbuhi bulu-bulu burung kasuari. Buaya itu
tampak sangat menyeramkan. Towjatuwa yang ketakutan hendak melarikan diri
sebelum dirinya dimangsa oleh buaya itu. Namun, ketika ia mau meninggalkan
tempat itu, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh sebuah suara teguran.
“Tunggu dulu,
Towjatuwa!” seru suara itu.
Towjatuwa pun
menghentikan langkahnya dan kemudian menoleh ke arah buaya itu.
“Apakah kamu
yang memanggilku?” tanya Towjatuwa heran.
“Benar,
Towjatuwa. Akulah yang memanggilmu,” jawab buaya itu, “Namaku Watuwe, penguasa
di Sungai Tami ini.”
Alangkah
terkejutnya Towjatuwa mendengar jawaban dari buaya itu. Ia seolah-olah tidak
percaya bahwa ternyata buaya itu dapat berbicara seperti manusia. Buaya itu
tiba-tiba mengerang kesakitan. Ternyata, ekor buaya itu terjepit batu besar.
Towjatuwa yang iba melihat penderitaan buaya itu segera menolong dengan
memindahkan batu besar yang menjepit ekor Watuwe.
Setelah itu,
Towjatuwa berniat pergi untuk melanjutkan pencarian rumput air. Namun, Watuwe
kembali menghentikan langkahnya.
“Sebentar,
Towjatuwa! Kalau aku boleh tahu, apa yang sedang kamu cari di tempat ini?”
tanya Watuwe.
“Aku sedang
mencari rumput air untuk membantu kelahiran istriku. Tapi, aku belum
menemukannya,” jawab Towjatuwa.
“Jangan
khawatir, Towjatuwa,” ujar Watuwe, “Karena engkau telah menolongku, maka aku
pun akan menolongmu. Tunggu aku di rumahmu nanti malam.”
“Terima kasih
sebelumnya, Watuwe,” ucap Towjatuwa dengan perasaan senang.
Hari sudah
sore. Towjatuwa pun bergegas pulang ke rumahnya. Malam harinya, buaya Watuwe
datang ke rumah Towjatuwa. Istri Towjatuwa masih tampak kesakitan di atas
pembaringan. Perlahan-lahan, buaya yang sakti itu mendekat untuk mengobatinya.
Alhasil, dengan kekuatan ajaibnya, istri Towjatuwa pun melahirkan seorang anak
laki-laki dengan selamat. Bayi itu diberi nama Narrowra.
“Terima kasih,
Watuwe,” ucap Towjatuwa dan istrinya.
“Sama-sama,
Towjatuwa. Aku pun berterima kasih karena engkau telah menolongku,” kata Watuwe
seraya berpamitan.
Sebelum
meninggalkan rumah itu, Watuwe mengatakan sesuatu kepada Towjatuwa tentang
anaknya.
“Ketahuilah,
Towjatuwa. Kelak anak kalian akan tumbuh menjadi pemburu yang handal,” ungkap
Watuwe, “Namun, aku berpesan kepada kalian, tolong jangan pernah membunuh dan
memakanku. Jika suatu saat aku mati, ambillah kantung air seniku, lalu bawalah
kantung itu ke Gunung Sankria. Di sana, manusia langit telah menanti kalian dan
akan memberi petunjuk mengenai apa yang harus kalian lakukan.”
Towjatuwa dan
istrinya amat berterima kasih kepada Watuwe karena telah menolong kelahiran
anak mereka.
“Istriku,
walaupun Watuwe berwujud binatang, ia sangat baik dan penyayang. Entah apa yang
dapat kita perbuat untuk membalas budi baiknya kepada kita,” kata Towjatuwa
kepada istrinya.
“Satu-satu cara
yang bisa kita lakukan untuk membalas kebaikannya adalah mengingat dan
melaksanakan semua pesannya,” ujar sang istri.
“Kamu, benar
istriku,” kata Towjatuwa.
Sejak itulah,
Towjatuwa dan keturunannya selalu melindungi buaya ajaib itu serta buaya-buaya
lainnya yang berada di Sungai Tami.
Batu Belah
Pada zaman
dahulu, daerah pesisir Tobelo, Maluku Utara, memiliki kekayaan laut yang sangat
melimpah. Berbagai jenis ikan hidup di daerah tersebut. Salah satu di antaranya
adalah ikan papayana. Jenis ikan ini sangat digemari oleh nelayan
setempat karena dagingnya lezat dan mempunyai banyak telur yang enak dimakan.
Selain itu, telur ikan papayana dipercaya dapat menjaga keselamatan para
nelayan ketika sedang mencari ikan di laut dalam keadaan cuaca buruk. Caranya
sangat mudah yaitu menyimpan telur ikan papayana tersebut di rumah
sebelum berangkat ke laut.
Di antara para
nelayan di daerah itu, ada seorang nelayan yang bernama Malaihollo. Malaihollo
mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Anaknya yang pertama seorang
perempuan bernama O Bia Moloku sedangkan anak bungsunya seorang laki-laki yang
masih balita bernama O Bia Mokara. Untuk menghidupi keluarganya, setiap hari
Malaihollo mencari ikan di laut.
Pada suatu
hari, Malaihollo pulang dari melaut lebih awal daripada hari-hari biasanya
karena cuaca di laut sangat buruk. Angin bertiup kencang dan gelombang laut
sangat ganas. Namun, hari itu ia berhasil memperoleh seekor ikan papayana yang
cukup besar dan bertelur banyak. Dengan hati gembira dan langkah
tergopoh-gopoh, ia membawa ikan itu masuk ke dalam rumah untuk diserahkan
kepada istrinya.
“Ma… Ma…,
Papa pulang!” seru Malaihollo.
Mendengar
teriakan itu, sang istri tercinta segera menyambut kedatangannya.
“Ada apa, Papa!
Kenapa Papa sudah kembali dari melaut? Bukankah hari masih pagi?” tanya
istrinya heran.
“Lihat, Ma!
Papa membawa ikan papayana yang sangat besar. Tolong ikan beserta
telurnya dimasak sekarang untuk makan siang kita nanti! Papa ingin
kembali lagi ke laut untuk mencari ikan,” pesan Malaihollo.
“Baik, Pa!”
jawab istrinya seraya membawa ikan itu ke dapur untuk dimasak.
Meskipun
mengetahui cuaca di laut sangat buruk, Istri Malaihollo tetap tidak
memperdulikan keselamatan suaminya. Ia yakin bahwa dengan menyimpan telur ikan papayana
suaminya akan baik-baik saja selama melaut.
Usai dimasak,
ikan dan telur ikan papayana tersebut ia simpan di dalam lemari. Setelah
itu, istri Malaihollo berniat untuk mengambil sayur-sayuran di kebun.
“Moloku, Mama
mau ke kebun sebentar. Jangan kamu makan ikan yang Mama simpan di
lemari! Jika kamu memakan telur ikan itu, maka Papa-mu akan terancam
bahaya di laut,” pesan istri Malaihollo kepada anak sulungnya yang sedang
bermain bersama adiknya di halaman rumah.
“Baik, Mama!”
jawab O Bia Moloku.
Tak berapa lama
setelah sang mama pergi, tiba-tiba O Bia Mokana menangis karena lapar.
“Kakak, adik
lapar. Adik mau makan telur ikan,” kata O Bia Mokana.
“Jangan,
Adikku! Kita tidak boleh makan telur ikan itu sebelum papa pulang dari
laut,” bujuk O Bia Moloku.
O Bia Moloku
terus berusaha membujuk adiknya dengan mengajaknya bermain-main agar tidak
teringat pada telur ikan tersebut. Mulanya, O Bia Mokana berhenti menangis dan
kembali bermain. Namun, selang beberapa saat kemudian, O Bia Mokana kembali
menangis karena sudah tidak tahan lagi menahan lapar.
“Kakak, adik
lapar sekali. Adik mau makan telur ikan itu,” pinta O Bia Mokana sambil
merengek-rengek.
Semakin lama,
tangis O Bia Mokana semakin keras. Bahkan, ia menangis sambil meronta-ronta dan
mengguling-gulingkan badannya di tanah. Oleh karena merasa kasihan melihat
adiknya, O Bia Moloku pun mengambil beberapa cuil telur ikan yang ada di lemari
lalu diberikan kepada adiknya. O Bia Mokana makan dengan lahapnya sehingga
telur ikan itu habis dalam waktu sekejap. Namun, rupanya beberapa telur ikan
itu belum mengenyangkan perut O Bia Mokana sehingga ia kembali meminta telur
ikan kepada kakaknya.
“Kakak, aku
masih lapar. Aku minta telur ikan lagi,” pinta O Bia Mokana sambil
merengek-rengek.
Akhirnya, O Bia
Molaka memberikan semua telur ikan yang ada di lemari kepada adiknya agar tidak
merengek-rengek lagi. Dengan hati gembira, O Bia Mokana segera melahap telur
ikan tersebut hingga habis. Setelah kenyang, anak bungsu Malaihollo itu kembali
bermain dengan riang gembira.
Sementara itu,
sang mama yang masih berada di kebun bergegas kembali ke rumah karena
hari sudah hampir siang.
“Wah, saya
harus segera pulang. Sebentar lagi suami saya pulang dari laut,” gumamnya.
Setibanya di
rumah, istri Malaihollo itu sangat senang melihat anak-anaknya sedang bermain
dengan riang di halaman rumah. Setelah meletakkan sayur-sayurannya di dapur, ia
kemudian menggendong si bungsu. Alangkah senangnya hati O Bia Moloku berada di
dekapan ibunya sambil bersendau-gurau. Pada saat ia tertawa-tawa, sang mama
melihat banyak sisa-sisa telur ikan di sela-sela giginya. Sang mama pun
mulai curiga dan merasa cemas. Ia segera melepas si bungsu dari gendongannya
lalu bergegas ke dapur untuk memeriksa telur ikan yang disimpannya di dalam
lemari. Begitu membuka lemari itu, sang mama langsung naik pitam karena
telur ikannya telah habis tanpa tersisa sedikit pun.
“O Bia Moloku!
Ayo kemari!” seru sang mama.
“Ada apa, Mama?”
tanya O Bia Moloku.
“Mana telur
ikan pepayana yang ibu simpan di lemari ini?” tanya sang mama
dengan wajah cemas.
“Maaf But... !
Tadi O Bia Mokara menangis merengek-rengek ingin makan telur ikan itu. Moloku
tidak tega melihatnya menangis terus. Jadi, Moloku terpaksa memberikan telur
ikan itu kepadanya,” jawab O Bia Moloku dengan gugup.
Mendengar
jawaban anak sulungnya, perempuan paruh baya itu bagai disambar petir. Sejenak,
ia tertegun dan sekujur tubuhnya menjadi gemetar. Ia merasakan ada firasat
buruk terhadap suaminya yang sedang mencari ikan di tengah laut. Sejak menikah,
ia selalu menjaga pesan suaminya. Sebab, ia percaya bahwa kebiasaan menyimpan
telur ikan pepayana tersebut benar-benar terbukti keampuhannya, suaminya
tidak pernah mendapat bencana saat pergi melaut walaupun dalam keadaan cuaca
buruk.
“Baiklah,
karena kalian tidak patuh kepada nasehat orangtua, maka terpaksa Mama
harus meninggalkan kalian!” ancam sang Mama.
“Maafkan kami,
Mama! Jangan tinggalkan kami!” iba O Bia Moloku.
Sang mama
tidak mau lagi mendengar perkataan anaknya. Ia segera berlari ke luar rumah
menuju ke arah pantai. Melihat mama-nya pergi, si bungsu pun menangis. O
Bia Moloku segera menggendong adiknya lalu mengejar mama mereka.
“Mama,
kembalilah! Si bungsu menangis... Si Bungsu haus...!” teriak O Bia Moloku.
“Peraslah daun katang!
Di situ ada air susu,” jawab sang mama sambil terus berlari.
Akhirnya, O Bia
Moloku berhenti sejenak untuk memeras daun katang dan memberi minum
adiknya. Sementara itu, sang mama semakin jauh meninggalkan mereka.
Setelah adiknya kenyang, O Bia Moloku segera menggendongnya dan kembali
mengejar mama mereka. Begitu mereka tiba di pantai, sang mama
sudah berdiri di depan sebuah batu besar.
“Mama,
jangan tinggalkan kami! Kami berjanji tidak akan melanggar nasehat Mama,” iba
O Bia Moloku.
Namun, tekad
sang mama untuk meninggalkan mereka tidak dapat lagi dicegah. Ia segera
naik di atas batu besar itu lalu berkata: “Wahai, batu besar! Terbukalah agar
aku bisa masuk ke dalammu!”
Sungguh ajaib,
batu besar itu perlahan-lahan terbelah menjadi dua. Begitu batu besar itu
terbuka lebar, sang mama segera masuk ke dalamnya. Setelah itu, sang mama
meminta kepada batu itu agar tertutup kembali.
“Wahai, Batu
Besar! Mengatuplah!” seru sang mama.
Mendengar
perintah itu, batu besar itu pun mengatup kembali dengan sangat cepat tanpa
meninggalkan bekas celah atau retakan sedikit pun. Tak ayal lagi, istri
Malaihollo itu pun tertelan oleh batu besar itu. Melihat peristiwa tersebut, O
Bio Moloku dan adiknya terus menangisi kepergian mama mereka. Batu besar
yang menelan istri Malaihollo tersebut kemudian dinamakan Batu Belah. Hingga
saat ini, Batu Belah masih dapat ditemukan di daerah Maluku Utara.
Asal Mula Telaga Biru
Alkisah, di wilayah Galela,
Halmahera Utara, Maluku Utara, tersebutlah sebuah dusun bernama Lisawa. Dusun
ini masih tergolong sepi, karena hanya dihuni oleh beberapa keluarga yang
menempati beberapa dadaru (rumah). Dusun ini juga tergolong daerah yang
sulit air, karena hampir seluruh wilayahnya terdiri dari bebatuan. Untuk
mendapatkan air bersih untuk keperluan minum, masak, dan mandi, para penduduk
harus berjalan jauh. Meski demikian, penduduknya senantiasa hidup aman, damai,
dan tenang.
Di dusun ini seorang pemuda tampan
yang akrab dipanggil Magohiduuru, dan seorang gadis cantik yang akrab dipanggil
Majojaru. Mereka adalah sepasang kekasih setia sehidup-semati. Sebenarnya,
Magohiduuru ingin segera meminang Majojaru. Namun, ia tidak berani menyampaikan
niat itu kepada kekasihnya, karena ia menyadari bahwa untuk menghidupi dirinya
sendiri masih kesulitan, apalagi jika berkeluarga. Menyadari keadaan dirinya,
Magohiduuru pun memutuskan untuk pergi merantau. Setelah berhasil, barulah ia
akan kembali melamar Majojaru. Niat itu pun ia sampaikan kepada kedua orang
tuanya dan mendapat restu. Setelah itu, ia segera menemui kesasihnya.
`Adikku! Ada yang ingin kukatakan
kepadamu!” kata Magohiduuru.
“Ada apa, Kak! Katakanlah!” desak
Majojaru.
“Adikku! Kakak ingin pergi merantau mencari
bekal untuk masa depan kita berdua. Setelah berhasil, Kakak akan segera kembali
untuk melamarmu. Apakah Adik akan setia menunggu sampai Kakak pulang?” tanya
Magohiduuru.
Majojaru tertegun sejenak. Ia
terdiam dengan pandangan kosong. Pikirannya terbang jauh membayangkan dirinya
akan ditinggal oleh sang Kekasih yang sangat dicintainya itu. Hatinya sangat
sedih membayangkan hal itu. Namun, setelah berpikir dengan akal jernih, ia pun
menyadari bahwa yang dikatakan kekasihnya itu benar, demi masa depan mereka
yang lebih baik.
“Baiklah, Kak! Jika Kakak bersungguh
hati hendak merantau, pergilah Kak! Adik akan setia menunggumu. Kakaklah
satu-satunya harapan Adik dalam hidup ini. Kakaklah cinta sehidup-semati Adik,”
ucap Majojaru.
“Tapi, jangan lupa segera kembali
jika Kakak sudah berhasil!” pesannya.
Betapa senangnya hati Magohiduuru
mendengar janji setia dan restu dari sang Kekasih.
“Iya, Adikku! Kakak berjanji segera
kembali, karena kamulah milik Kakak satu-satunya. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa
mengabulkan ikrar kita untuk sehidup-semati,” kata Magohiduuru.
Keesokan harinya, Magohiduuru
berpamitan kepada Majojaru. Meski keduanya sudah saling merelakan berpisah
untuk sementara waktu, Majojaru masih menyimpan perasaan berat hati untuk
melepas kepergian kekasih hatinya, begitu pula Magohiduuru dengan perasaan
berat hati harus meninggalkan sang kekasih tercinta. Namun, apapun keadaannya,
Magohiduuru sudah bertekad keras untuk merantau. Ia pun berangkat ke negeri
seberang dengan menumpang kapal layar.
Sudah satu tahun Magohiduuru di
perantauan, belum juga kembali. Hati Majojaru pun mulai gelisah. Suatu hari
ketika berjalan-jalan ke dermaga, Majojaru melihat sebuah kapal sedang berlabuh.
Dengan penuh harapan, ia mendekat ke kapal itu siapa tahu kekasih yang
dinanti-nantikannya ada di antara para penumpang. Ia mengamati setiap penumpang
yang turun dari kapal dengan penuh seksama. Seluruh penumpang sudah turun dari
kapal, namun orang yang dicarinya tidak juga kelihatan. Akhirnya, ia pun
memberanikan diri untuk menanyakan keberadaan kekasihnya kepada salah seorang
awak kapal.
“Permisi, Tuan! Bolehkah saya
menganggu sebentar?” sapa Majojaru.
“Iya, ada apa? Ada yang dapat
kubantu?” bertanya awak kapal itu.
“Iya, Tuan! Apakah Tuan mengenal
kekasih saya, Magohiduuru? Kalau tidak salah, setahun yang lalu ia menumpang
kapal Tuan menuju ke negeri seberang. Apakah Tuan pernah mendengar kabarnya?”
Majojaru balik bertanya.
“Ooo... Magohiduuru, si pemuda
tampan yang malang itu,” jawab awak kapal itu.
Mendengar jawaban itu, Majojaru pun
tersentak kaget.
“Hai, apa maksud Tuan dengan si
pemuda yang malang itu? Apa yang terjadi dengannya, Tuan?” tanya Majojaru
dengan penuh penasaran.
Awak kapal itu pun bercerita bahwa
sebulan yang lalu Magohiduuru meninggal dunia di perantauan karena kecelakaan
saat sedang bekerja. Bagaikan disambar petir di siang bolong Majojaru mendengar
berita buruk itu. Ia seolah tidak percaya atas nasib yang menimpa kekasihnya.
Musnahlah segala harapannya. Janji setia untuk sehidup semati yang pernah
mereka ikrarkan pun menjadi sirna.
Dengan hati sedih dan tubuh lemas,
Majojaru berjalan sempoyongan pulang ke rumahnya. Sebelum sampai di
perkampungan, ia mencari tempat berteduh untuk menenangkan hatinya. Ia duduk di
atas bebatuan yang berada di bawah sebuah pohon beringin meratapi nasib yang
telah menimpa kekasihnya. Ia pun menangis sejadi-jadinya hingga tiga hari tiga
malam. Air matanya terus mengalir tak terbendung bagaikan tanggul yang jebol.
Lama-kelamaan, air matanya menggenangi dan menenggelamkan bebatuan tempat ia
duduk hingga ia pun ikut tenggelam dan meninggal dunia. Tak berapa lama
kemudian, terbentuklah sebuah telaga kecil yang airnya sebening air mata dan
berwarna kebiruan.
Beberapa hari kemudian, seorang
penduduk sedang mencari kayu bakar di sekitar tempat itu. Betapa terkejutnya ia
ketika melihat telaga kecil itu.
“Hai, kenapa tiba-tiba ada telaga di
tempat ini?” gumamnya.
Tanpa banyak pikir, orang itu segera
memberitahukan keberadaan telaga itu kepada penduduk Dusun Lisawa. Mendengar
berita tersebut, para penduduk pun menjadi gempar. Tetua adat (kepala kampung)
bersama beberapa orang warga segera berbondong-bondong untuk melihat telaga
itu. Setibanya di tempat itu, mereka terheran-heran dan kebingungan.
“Hai, apakah kamu mengerti kapan
sumber mata air ini muncul?” tanya tetua adat kepada warga yang pertama
menemukan telaga itu.
“Tidak, Pak! Telaga itu sudah ada
saat aku melewati tempat ini,” jawab warga itu.
“Wah, apakah ini pertanda sesuatu
yang buruk akan terjadi di kampung kita, Pak?” sahut seorang warga lainnya.
“Entahlah. Tapi, kita harus
menyelediki penyebab timbulnya telaga ini,” ujar tetua adat.
Akhirnya, tetua adat dan beberapa
orang warga tersebut kembali ke perkampungan. Tetua adat segera memukul dolodolo
(kentongan) untuk mengumpulkan seluruh warganya. Tak berapa lama, para warga
pun telah berkumpul di halaman rumahnya.
“Wahai, seluruh wargaku! Ketahuilah!
Di kampung kita baru saja terjadi peristiwa aneh. Sebuah telaga kecil tiba-tiba
muncul di pinggir kampung. Oleh karena itu, kita harus mengadakan upacara adat
untuk mengungkap misteri keberadaan telaga itu!” seru tetua adat.
Mendengar seruan tersebut, para
sepepuh kampung segera menyiapkan segala keperluan untuk mengadakan upacara
adat pemanggilan roh-roh leluhur dan penyembahan terhadap Jou Giki Moi atau
Jou Maduhutu (Tuhan Yang Esa atau Tuhan Sang Pencipta). Selang beberapa
saat upacara adat itu berlangsung, terdengarlah sebuah bisikan dari roh lehuhur
mereka yang bunyinya seperti berikut:
“Timbul dari sininga irogi de itepi sidago kongo dahulu de i uhi imadadi
ak majobubu”. (Artinya: Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam,
meneteskan air mata, mangalir dan mengalir menjadi sumber mata air).
Mendapat jawaban tersebut, tetua
adat pun menutup upacara adat tersebut dan segera membunyikan dolodolo.
Tak berapa lama, para warga pun berkumpul untuk mendengarkan hasil temuan yang
akan disampaikan oleh tetua adat.
“Wahai, wargaku! Ketahuilah!
Keberadaan telaga itu disebabkan oleh air mata seorang gadis akibat patah hati
ditinggal mati oleh kekasihnya,” ungkap tetua adat.
Begitu tetua adat selesai
menyampaikan keterangan itu, suasana pun menjadi hening. Seluruh warga yang
hadir bertanya-tanya dalam hati siapakah pasangan kekasih tersebut. Di tengah
keheningan tersebut, tetua adat kembali angkat bicara dan bertanya kepada
warga.
“Hai, siapakah di antara kalian yang
saat ini anggota keluarganya tidak berada di kampung ini?” tanya tetua adat.
Mendengar pertanyaan itu, para warga
pun saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota
keluarganya. Selang beberapa saat, seorang laki-laki setengah baya mengacungkan
tangan. Ia adalah ayah Magohiduuru.
“Saya, Pak!” sahut ayah Magohiduuru.
“Siapa anggota keluargamu itu dan ke
mana perginya?” tanya tetua adat.
Ayah Magohiduuru itu pun bercerita
bahwa setahun yang lalu anak laki-lakinya yang bernama Magohiduuru pergi
merantau, namun belum kembali. Begitu lelaki setengah baya itu usai bercerita,
ayah Majojaru pun bercerita bahwa putrinya, Majojaru, sudah tiga hari tidak
pulang ke rumah. Ia sudah mencari ke mana-mana tapi tidak menemukannya. Ia juga
bercerita bahwa sebenarnya, putrinya dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih
dan mereka telah saling berjanji untuk sehidup semati.
Dari keterangan ayah Magohiduuru dan
Majojaru itulah, tetua adat menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi pada
sepasang kekasih tersebut. Setelah diusut ke mana-mana, akhirnya mereka pun
mendapat kabar berita dari awak kapal bahwa Magohiduuru telah meninggal dunia
di perantauan. Mereka juga mendapat keterangan bahwa Majojaru telah mengetahui
perihal kematian kekasihnya. Mendengar semua keterangan tersebut, maka tetua
adat dan seluruh warga Dusun Lisawa pun berkeyakinan bahwa terbentuknya telaga
itu berasal dari air mata Majojaru karena menangisi kepergian kekasihnya. Untuk
mengenang peristiwa yang menyedihkan itu, penduduk setempat menamai telaga itu
Telaga Biru, karena airnya sebening air mata dan berwarna kebiruan. Mereka pun
berjanji akan menjaga dan merawat telaga itu.
Buaya Tembaga
Pulau
Ambon adalah salah satu pulau yang indah di Indonesia. Di sana terdapat lautan
yang membiru dipenuhi ikan yang beraneka ragam. Ada pula ikan yang dapat
terbang mencecah laut. Taman lautnya yang penuh dengan berbagai jenis hewan
laut, membuatnya semakin indah dipandang mata.
Dikisahkan
pada zaman dahulu, kota Ambon yang terletak pada jazirah Lei Timur dan jazirah
Lei Hitu itu dihubungkan oleh satu tanah genting yang bernama Tanah Genting
Baguala. Di tempat ini hidup seekor buaya yang sangat besar. Panjang badannya
kira-kira 5 meter dan warna kulitnya kuning. Oleh sebab itu, penduduk di sana
memberinya nama Buaya Tembaga. Keadaan alam di Baguala yang begitu indah dan
nyaman, membuat Buaya Tembaga itu merasa
betah tinggal di sana. Apalagi penduduknya sangat memuja buaya tersebut.
Tak
jauh dari tempat itu, di pesisir pantai selatan Pulau Buru, hiduplah seekor
ular besar yang bertengger di atas sebatang pohon Mintaggor. Pohon itu tumbuh
di tepi pantai dan selalu condong ke arah laut. Ular tersebut selalu mengganggu
ketenteraman hidup semua penghuni tempat itu. Hampir
semua ikan ditelannya, buaya-buaya pun turut dimangsanya juga. Oleh karena
itu, ikan-ikan, buaya, dan binatang lain berkumpul untuk mengadakan musyawarah
dengan tujuan untuk mengatasi serta membasmi ular raksasa itu. Akhirnya,
mereka sepakat bahwa yang dapat menandingi ular tersebut adalah Buaya
Tembaga.
Setelah
selesai bermusyawarah mereka mengirim utusan untuk menemui Buaya Tembaga.
Tujuannya yaitu meminta bantuan agar dapat menghancurkan ular pemangsa
itu. Mereka kemudian menjemput Buaya Tembaga dari Teluk Baguala, sementara
ikan-ikan dan buaya yang lain sibuk mempersiapkan upacara penyambutan bagi
Buaya Tembaga.
Setibanya
mereka di Teluk Baguala, Buaya Tembaga mengabulkan permohonan mereka dan
bersedia untuk berangkat bersama dengan para utusan itu menuju pantai selatan
Pulau Buru. Setibanya di Pulau Buru, Buaya Tembaga disambut dengan hangat
dalam suatu upacara yang meriah. Upacara pun dihadiri oleh para penghuni
laut seperti keong laut, berjenis ikan, para buaya, aneka macam burung laut.
Mereka beramah-tamah dan bersuka-ria dengan Buaya Tembaga selama dua hari.
Pada
hari yang ketiga, berangkatlah Buaya Tembaga melaksanakan tugasnya. Ia mulai
berjalan, berenang ke sana-kemari mengintai musuhnya dan mendekati pohon
mintanggor tempat ular raksasa itu berada. Ketika buaya melewati pohon itu, ia
berpapasan dengan sang ular. Seketika itu ular langsung melilitkan ekornya pada
batang pohon mintanggor dan menjulurkan badannya ke laut seraya memagut Buaya
Tembaga.
Pagutan ular itu segera ditangkis Buaya Tembaga dengan
mengibaskan ekornya yang keras dan tajam. Perang tanding pun terjadi
antara keduanya dan peristiwa ini disaksikan oleh semua penghuni laut yang
berada di sekitar tempat itu. Pertarungan tersebut terjadi selama lebih dari
sehari.
Ketika
pertarungan itu sudah berlangsung selama dua hari, terjadilah saat-saat yang
menentukan. Sang ular, seperti biasa, melilitkan ekornya kuat-kuat pada batang
pohon mintanggor dan memagut mata sang buaya. Buaya pun dengan sigap segera
mengelak dari serangan ular dan membalas dengan pukulan yang keras dan cepat.
Lalu ia hempaskan ekor tajamnya ke arah kepala ular raksasa itu. Hal ini
terjadi berulang kali. Akibatnya, sang ular pun babak belur terkena sambaran
ekor Buaya Tembaga. Kepalanya remuk, lilitan ekornya terlepas dari batang
pohon mintanggor dan terhempas ke laut. Maka berakhirlah sudah riwayat ular
raksasa tersebut.
Para
penghuni laut yang menyaksikannya serentak bersorak-sorai. Dengan
demikian, mereka telah bebas dari ancaman sang ular yang selama ini menghantui
mereka. Setelah kejadian itu, Buaya Tembaga dianugerahi gelar “Yang Dipertuan
di daerah Teluk Baguala”. Hadiah itu dipersembahkan pada sebuat tagala
dan diisi dengan beberapa jenis ikan seperti ikan parang, make, papere, dan
salmaneti. Selanjutnya, Buaya Tembaga pun kembali ke tempat asalnya dengan
membawa hadiah tersebut. Sejak saat itu, ikan-ikan tersebut berkembang-biak
dengan baik di Teluk Baguala. Hingga kini, ikan jenis itu sangat banyak
terdapat di teluk tersebut. Bahkan banyak penduduk yang percaya, terutama yang
tinggal di sekitar Teluk Baguala bahwa bila Buaya Tembaga itu muncul pertanda
akan datang banyak ikan. Sehingga masyarakat bersiap-siap untuk menangkap ikan
dan menjualnya. Kemunculan Buaya Tembaga membawa keberuntungan bagi penduduk
Baguala.
Empat Sultan Di Maluku Utara
Alkisah, pada
zaman dahulu kala, di daerah Maluku Utara, ada seorang pemuda tampan bernama
Jafar Sidik. Tak seorang pun warga yang mengetahui asal-usul keluarganya. Ia
tinggal sendirian di sebuah rumah kecil di Desa Salero Ternate. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, Jafar Sidik mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke
pasar. Di tengah hutan tempat ia biasanya mencari kayu bakar terdapat sebuah
telaga yang berair jernih, sejuk, dan dikelilingi oleh pepohonan yang rindang.
Setiap orang yang berada di tempat itu hatinya akan merasa nyaman dan tenteram.
Itulah sebabnya telaga itu disebut dengan Telaga Air Sentosa.
Suatu sore, sepulang
mencari kayu bakar, Jafar Sidik duduk-duduk di tepi telaga itu untuk melepaskan
lelah. Sore itu, cuaca tampak cerah. Ia duduk di atas sebuah batu besar sambil
merendam kakinya dalam air telaga. Pandangannya menerawang ke langit yang
berwarna jingga. Pada saat itulah, tiba-tiba pandangannya tertuju pada setitik
cahaya berwarna-warni. Semakin lama cahaya itu semakin memanjang dan semakin
jelas, kemudian ujungnya jatuh di tengah Telaga Air Sentosa.
“Sungguh aneh! Tak ada
gerimis, tak ada hujan, tapi ada pelangi,” gumam Jafar Sidik.
Baru selesai bergumam,
tiba-tiba Jafar Sidik melihat di atas ujung lengkungan pelang itu muncul tujuh
wanita cantik dengan pakaian warna-warni sesuai dengan warna pelangi. Ada yang
berbusana warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Ketujuh
wanita yang tak lain bidadari dari Kahyangan itu kemudian terbang ke tepi
telaga. Jafar Sidik pun segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil
mengawasi tindak-tanduk mereka. Rupanya, ketujuh bidadari cantik tersebut
hendak mandi di telaga itu. Mereka melepas selendangnya dan meletakkannya di
atas bebatuan, kemudian mereka masuk ke dalam telaga. Dengan riangnya mereka
mandi dan bermain-main air diselingi dengan canda tawa.
Jafar Sidik terus
mengawasi ketujuh bidadari itu dari balik pepohonan. Ia sangat terpesona
melihat kecantikan mereka. Di antara ketujuh bidadari tersebut, bidadari yang
berbaju ungulah yang paling cantik. Dia adalah adik yang paling bungsu.
“Aduhai... cantik sekali
bidadari yang berpakaian ungu itu,” gumam Jafar Sidik dengan kagum.
Jafar Sidik pun langsung
jatuh hati dan berniat untuk memperistrinya. Namun, ia bingung karena bidadari
itu pasti akan terbang kembali ke Kahyangan. Setelah berpikir sejenak, Jafar
Sidik menemukan sebuah cara. Pada saat ketujuh bidadari itu tengah asyik
bersendau gurau, ia melangkah perlahan-lahan sambil berjingkat-jingkat menuju
ke tempat pakaian para bidadari tersebut diletakkan. Dengan cepat, ia mengambil
selendang yang berwarna ungu. Setelah itu, ia segera kembali bersembunyi di
balik pohon besar dan menyembunyikan selendang tersebut di balik bajunya.
Hari pun semakin sore.
Tibalah saatnya para bidadari tersebut kembali ke negerinya di Kahyangan.
“Adik-adik, hari sudah
menjelang malam. Ayo kita segera pulang sebelum pelangi itu menghilang!” ajak
bidadari berbaju merah, kakak yang tertua.
Keenam adiknya pun
menurut. Mereka segera naik ke darat dan mengenakan selendang masing-masing.
Namun, bidadari yang bungsu masih kebingungan, karena selendangnya hilang.
“Ayo cepat, Bungsu!
Pelangi sudah hampir menghilang!” seru bidadari berbaju hijau.
“Tunggu sebentar, Kak!
Selendangku tidak ada. Padahal, tadi aku meletakkannya di atas bebatuan ini
bersama dengan selendang Kakak,” kata bidadari yang berbaju ungu tiba-tiba.
Bidadari bungsu pun
segera mencari selendangnya dan dibantu oleh keenam kakaknya. Mereka sudah
mencarinya ke mana-mana, namun tidak menemukannya. Walaupun harus meninggalkan
si Bungsu seorang diri, keenam bidadari lainnya memutuskan untuk segera pulang,
karena pelangi sudah mulai memudar.
“Maafkan kami, Adikku!
Kami terpaksa meninggalkanmu seorang diri sini. Jaga dirimu baik-baik!” ujar
bidadari yang sulung.
“Jangan tinggalkan aku,
Kak!” teriak si Bungsu sambil meratap.
Namun, keenam kakaknya
sudah terbang meninggalkannya. Tak lama kemudian mereka pun menghilang
bersamaan dengan hilangnya pelangi itu.
Bidadari bungsu pun
menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
“Ayah... Ibu..., kenapa
nasibku begini?”
Jafar Sidik merasa
kasihan melihat bidadari bungsu itu. Ia pun segera menghampirinya.
“Hai, Bidadari cantik!
Siapa namamu? Kenapa kamu menangis dan bisa berada di tempat ini seorang diri?”
tanya Jafar Sidik pura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada bidadari bungsu
itu.
“Nama hamba Putri Boki
Nurfaesyah, Tuan! Hamba tidak bisa kembali lagi ke Kahyangan karena selendang
hamba hilang entah ke mana. Apakah Tuan melihatnya?” tanya Putri Boki
Nurfaesyah.
Jafar Sidik tidak
memberitahunya kalau dialah yang telah mengambil selendang bidadari itu. Karena
hari sudah hampir malam, Jafar Sidik mengajak Putri Boki Nurfaesyah ke
rumahnya. Putri Boki Nurfaesyah pun menerima ajakan itu. Saat tengah malam,
ketika Putri Boki Nurfaesyah tertidur pulas, Jafar Sidik menyembunyikan
seledang berwarna ungu itu di bubungan rumahnya.
Sejak tinggal bersama
Putri Boki Nurfaesyah, keinginan Jafar Sidik untuk menikahi putri itu semakin
kuat. Pada suatu hari, ia pun menyampaikan niat itu kepada Putri Boki
Nurfaesyah.
“Wahai, Putri Boki!
Kebetulan aku belum berkeluarga dan tidak mempunyai sanak saudara di sini.
Maukah engkau menjadi pendamping hidupku?” ungkap Jafar Sidik.
Putri Boki Nurfaesyah
hanya terdiam. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya ia ingin
sekali kembali ke negerinya untuk berkumpul bersama keluarganya. Namun, di sisi
lain, ia tidak bisa kembali ke negerinya, karena selendangnya hilang. Akhirnya,
ia pun terpaksa menerima lamaran Jafar Sidik.
“Baiklah, hamba bersedia
menerima lamaran Tuan, tapi Tuan harus memenuhi satu syarat,” jawab Putri Boki
Nurfaesyah.
“Apakah syaratmu itu,
Putri Boki?” tanya Jafar Sidik penasaran.
“Tuan harus berjanji
tidak akan mencegah hamba pulang ke Kahyangan jika hamba menemukan kembali
selendang hamba,” jawab Putri Boki Nurfaesyah.
Jafar Sidik pun menerima
syarat itu, karena ia berpikir bidadari bungsu itu tidak akan bisa menemukan
selendangnya. Akhirnya, mereka pun menikah. Pasangan pengantin baru itu pun
hidup bahagia, tenteram, dan damai. Jafar Sidik pun semakin tekun dan rajin
bekerja. Kini, ia tidak hanya mencari kayu bakar, tetapi juga menanam
sayur-sayuran di ladang. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke ladang dan baru
kembali ke rumah saat hari mulai petang.
Beberapa tahun kemudian,
Jafar Sidik dan Putri Boki Nurfaesyah telah dikaruniai empat orang anak
laki-laki yang masih kecil-kecil. Semakin lengkaplah kebahagiaan Jafar Sidik.
Ia pun mendidik anak-anaknya agar taat memegang dan melaksanakan ajaran agama
Islam. Ia juga mengajarkan kepada mereka agar hidup saling menyayangi,
tolong-menolong, dan rukun antara sesama saudara. Ia berharap keempat anaknya
kelak menjadi orang yang bertanggung jawab.
Kehadiran keempat anak
tersebut membuat Jafar Sidik semakin bersemangat bekerja. Putri Boki Nurfaesyah
pun merasa berbahagia hidup bersama suami dan anak-anaknya. Namun, di
tengah-tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba muncul keinginan untuk pulang ke
negerinya, jika ia telah menemukan selendangnya.
Suatu hari, ketika
suaminya sedang bekerja di ladang, Putri Boki Nurfaesyah melihat ada pelangi di
atas bubungan rumah mereka. Ia pun mengamatinya. Pada saat itulah, ia melihat
sehelai kain berwarna ungu terselip di bubungan rumah. Ia pun mengambil kain
itu. Setelah diamati, ternyata kain itu adalah selendangnya. Ia pun mengetahui
bahwa orang yang telah menyembunyikan selendangnya selama ini adalah suaminya
sendiri. Tanpa menunggu kedatangan suaminya pulang dari ladang, ia pun
berpamitan kepada anak-anaknya untuk segera kembali ke Kahyangan.
“Maafkan Ibu,
anak-anakku! Ibu harus pergi meninggalkan kalian. Jagalah diri kalian baik-baik
dan patuhlah kepada ayah kalian!” ujar Putri Boki Nurfaesyah kepada
anak-anaknya.
“Ibu mau pergi ke mana?”
tanya si Sulung.
“Ketahuilah,
anak-anakku! Ibu ini adalah seorang bidadari dari Kahyangan. Sebelum menikah,
Ibu dan ayah kalian telah mengikat janji bahwa jika suatu hari kelak Ibu
menemukan selendang Ibu yang hilang di tepi Telaga Air Sentosa, Ibu akan
kembali ke Kahyangan,” ungkap sang Ibu.
“Ibu.... jangan
tinggalkan kami. Kami sangat sayang kepada Ibu,” ratap si Bungsu.
“Iya, Bu! Jika Ibu
pergi, siapa lagi yang akan mengurus si Bungsu,” tambah anak ketiganya sambil
menangis.
“Maafkan Ibu,
anak-anakku! Ibu harus segera pergi sebelum pelangi itu hilang. Ibu sudah
bertekad kembali menemui keluarga Ibu di Kahyangan,” kata Putri Boki Nurfaesyah
sambil meneteskan air mata.
Sesaat, suasana di rumah
itu menjadi hening. Hati ibu dan keempat anak tersebut diselimuti perasaan
haru. Dengan isak tangis haru, keempat anak itu terus membujuk sang Ibu agar
tidak meninggalkan mereka. Namun, isak tangis mereka tidak dapat lagi
membendung tekad sang Ibu. Putri Boki Nurfaesyah pun segera melilitkan
selendang itu di pingganngya, lalu memegang kedua ujungnya seraya mengepak-ngepakkannya. Perlahan-lahan kakinya pun terangkat seperti tak
berpijak di bumi. Tiba-tiba Putri Boki Nurfaesyah meliukkan badannya, dan
seketika itu ia pun terbang melayang, membubung ke angkasa menuju negeri
Kahyangan. Tak berapa lama, ia pun menghilang bersamaan dengan hilangnya
pelangi. Keempat anaknya terperangah menyaksikan peristiwa tersebut. Sejak itu,
Putri Boki Nurfaesyah tidak pernah lagi kembali ke bumi.
Saat malam menjelang, Jafar Sidik
pulang dari ladangnya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati anak-anaknya
sedang menangis tersedu-sedu.
“Hai, kenapa kalian menangis? Ke
mana Ibu kalian?” tanya Jafar Sidik dengan perasaan cemas.
Si Sulung pun menceritakan bahwa
sang Ibu telah pergi. Betapa terkejutnya Jafar Sidik mendengar cerita itu. Ia
sangat sedih dan menyesal karena tidak mampu menjaga keutuhan keluargannya.
Namun, Jafar Sidik tidak ingin berlarut-laut dalam kesedihan, karena ia masih
memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Sejak itu, Jafar Sidik
pun harus membagi waktunya bekerja di ladang dan mengasuh anak-anaknya. Ia baru
berangkat ke ladang setelah mengurus keempat anaknya, dan kembali ke rumah saat
hari menjelang siang. Jafar Sidik kembali lagi ke ladang setelah anak-anaknya makan
siang, dan pulang ke rumah sebelum malam menjelang. Begitulah kegiatan Jafar
Sidik setiap hari sejak ditinggal pergi oleh istrinya.
Waktu terus berjalan.
Keempat putra Jafar Sidik menjadi pemuda yang tampan, taat beragama, dan
berjiwa sosial. Saat Maluku Utara dibagi dalam susunan pemerintahan,
putra-putra Jafar Sidik tersebut diangkat menjadi pemimpinnya. Putra pertamanya
menjadi sultan di Bacan, putra kedua menjadi sultan di Jailolo, putra ketiga
menjadi sultan di Tidore, dan putra keempat menjadi sultan di Ternate. Dari
merekalah kemudian lahir pemimpin-pemimpin Maluku.
Nenek Luhu
Pada zaman
penjajahan Belanda, ada sebuah negeri yang bernama Luhu. Negeri itu terletak di
Pulau Seram, Maluku. Negeri Luhu adalah negeri yang kaya dengan hasil cengkeh.
Negeri yang jumlah warganya tidak terlalu banyak itu diperintah oleh Raja
Gimelaha Luhu Tuban atau yang lebih dikenal dengan nama Raja Luhu. Sang Raja
mempunyai permaisuri bernama Puar Bulan dan seorang putri bernama Ta Ina Luhu
yang cantik jelita. Ta Ina Luhu berarti anak perempuan dari Luhu atau Putri
Negeri Luhu atau Putri Luhu. Ia adalah anak sulung sang raja yang memiliki
perangai baik, penurut, berbudi pekerti luhur, rajin beribadah, mandiri, serta
sayang kepada seluruh keluarganya. Selain Ta Ina Luhu, Raja Luhu mempunyai dua
orang putra, yaitu Sabadin Luhu dan Kasim Luhu.
Suatu ketika,
kabar tentang kekayaan Negeri Luhu di Pulau Seram terdengar oleh penjajah
Belanda yang berkedudukan di Ambon. Mereka pun berniat untuk menguasai pulau
itu. Dengan persenjataan lengkap, mereka menyerang Negeri Luhu. Raja Luhu dan
pasukannya pun berusaha melakukan perlawanan sehingga pertempuran sengit pun
terjadi. Perang itu dikenal dengan nama Perang Pongi, dan ada juga yang
menyebutnya Perang Huamual. Dalam pertempuran itu, penjajah Belanda
berhasil menguasai Negeri Luhu. Raja Luhu berserta keluarga dan seluruh
rakyatnya tewas. Satu-satunya orang yang selamat ketika itu adalah putri raja,
Ta Ina Luhu. Namun, ia ditangkap dan dibawa oleh penjajah Belanda ke Ambon
untuk dijadikan istri panglima perang Belanda.
Setibanya di
Benteng Victoria, Ambon, Ta Ina Luhu menolak untuk dijadikan istri oleh
panglima perang Belanda. Akibatnya, ia pun diperkosa oleh sang panglima. Putri
cantik yang malang itu tidak dapat berbuat apa-apa. Namun, karena tidak ingin
terus-terusan diperlakukan tidak senonoh oleh panglima itu, sang putrid selalu
berpikir keras untuk mencari cara agar dapat keluar dari Kota Ambon.
Suatu malam, Ta
Ina Luhu berhasil mengelabui tentara Belanda sehingga ia dapat melarikan diri
dari kota Ambon. Ia berjalan menuju ke sebuah negeri yang bernama Soya. Di
negeri itu, ia disambut baik oleh Raja Soya. Bahkan, ia kemudian dianggap
sebagai keluarga istana Soya. Ia diberi kamar tidur yang bagus dan indah. Atas
sambutan tersebut, Ta Ina Luhu sangat terharu karena teringat ketika dulu
dirinya menjadi putri raja. Tak terasa, air matanya menetes membasahi kedua
pipinya. Wajah kedua orangtua dan adik-adiknya kembali terbayang di hadapannya.
Ia sangat merindukan mereka.
“Ayah, Ibu!
Adikku, Sabadin dan Kasim! Beta sangat merindukan kalian. Beta hanya bisa
berdoa semoga kalian hidup tenang di alam sana!”
Setelah
beberapa bulan tinggal di dalam istana Soya, Ta Ina Luhu diketahui hamil.
Keadaan demikian membuatnya semakin merasa berat tinggal di istana karena tentu
akan semakin merepotkan keluarga Raja Soya. Akhirnya, ia memutuskan untuk
meninggalkan istana tersebut.
“O, Tuhan! Beta
tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini. Tapi, kehadiran Beta di tempat ini
hanya akan merepotkan keluarga Raja Soya. Beta harus pergi dari istana ini.
Berilah Beta petunjuk-Mu, Tuhan!” pinta Ta Ina Luhu.
Pada suatu
malam, saat suasana di dalam istana sudah sepi, Ta Ina Luhu mengendap-endap
berjalan menuju ke pintu belakang istana sambil mengawasi keadaan
sekelilingnya. Rupanya, ia benar-benar ingin pergi dari istana secara
diam-diam. Ia sengaja tidak memberitahukan kepergiannya kepada keluarga Raja
Soya karena sudah tentu mereka tidak akan mengizinkannya. Setelah sampai di
halaman belakang istana, ia melihat ada seekor kuda sedang ditambatkan di bawah
sebuah pohon. Kuda itu adalah milik Raja Soya yang biasa dipakai ketika akan
menghadap Gubernur Ambon. Dengan hati-hati, Ta Ina Luhu naik di atas punggung
kuda itu. Sebelum meninggalkan negeri itu, sang putri berbisik dalam hati.
“Maafkan Beta,
Baginda! Maafkan Beta, wahai seluruh keluarga istana! Kalian sungguh baik hati
kepada Beta. Tapi, Beta terpaksa harus pergi karena tidak ingin merepotkan
kalian. Relakanlah Beta pergi dan kalian jangan mencari Beta lagi!”
Setelah itu, Ta
Ina Luhu yang sedang mengandung itu segera pergi sebelum ada warga istana yang
melihatnya. Ia menyusuri hutan belantara yang sepi dan mencekam. Meskipun
suasana malam terasa sangat dingin, Putri Raja Luhu itu terus memacu kuda yang
ditungganginya menuju ke puncak gunung. Setibanya di sana, sang putri pun
berhenti. Ia sangat takjub melihat pemandangan Teluk Ambon yang sungguh
mempesona. Pemandangan itu sejenak mengobati luka-lara sang putri.
“Oh, Negeriku!
Keindahanmu sungguh mempesona,” ucap Ta Ina Luhu dengan kagum.
Usai berucap
demikian, sang putri tiba-tiba terjatuh dari kudanya hingga tak sadarkan diri.
Rupanya, ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa lelah yang begitu berat setelah
menempuh perjalanan jauh. Tak berapa lama kemudian, ia kembali sadar. Dengan
sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, perlahan-lahan sang putri berusaha bangkit
dan berdiri di samping kudanya. Dalam keadaan setengah sadar, ia menarik
kudanya menuju ke sebuah pohon jambu yang rindang dan berbuah lebat.
Setelah
menambatkan kudanya pada batang pohon jambu itu, sang putri segera membaringkan
tubuhnya. Dalam sekejap, ia pun langsung tertidur pulas dan baru terbangun pada
keesokan harinya saat matahari mulai beranjak tinggi. Begitu ia terbangun,
perutnya terasa kosong. Dengan kondisi tubuh yang masih lemas, ia berusaha
meraih buah jambu yang sudah matang. Setelah memakan beberapa buah jambu
tersebut, tenaganya pun berangsur-angsur pulih.
Sementara itu,
di istana Soya, sang raja menjadi panik ketika mengetahui Ta Ina Luhu tidak ada
di kamarnya. Seluruh keluarga istana telah mencarinya ke seluruh ruangan istana
namun belum juga menemukannya. Para pengawal istana yang mencarinya di
jalan-jalan Kota Soya juga tidak menemukannya. Pada saat pencarian dilakukan,
tiba-tiba seorang pengawal datang menghadap kepada Raja Soya.
“Ampun,
Baginda! Hamba ingin melaporkan sesuatu,” lapor pengawal itu.
“Hai, apakah
kamu sudah menemukan Putri Ta Ina Luhu? Di mana dia sekarang?” tanya Raja Soya
dengan penasaran.
“Ampun, Baginda
Raja! Hamba hanya ingin melaporkan bahwa kuda milik Baginda yang ditambatkan di
belakang istana juga hilang. Jadi, hamba berpikir bahwa Putri Ta Ina Luhu pergi
dengan menunggang kuda milik Baginda,” jelas pengawal itu.
Mendengar
laporan itu, Raja Soya semakin panik. Ia sangat mencemaskan keadaan Putri Ta
Ina Luhu yang sedang mengandung itu. Tanpa berpikir panjang, ia segera
membunyikan tifa (gendang kecil) sebanyak empat kali untuk memanggil marinyo
(seorang petugas tifa), dan kemudian kembali memukulnya sebanyak enam
kali untuk memanggil Kepala Soa (penasehat raja). Tak berapa lama
kemudian, kedua pejabat istana tersebut datang menghadap kepadanya.
“Ampun,
Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil kami?” tanya kedua pejabat itu
serentak.
“Segera
kumpulkan semua laki-laki yang berumur enam belas tahun hingga empat puluh
tahun. Setelah itu, perintahkan mereka untuk pergi mencari dan membawa pulang
Putri Ta Ina Luhu dalam keadaan selamat!” titah Raja Soya.
“Titah Baginda
kami laksanakan,” jawab keduanya seraya memberi hormat.
Setelah
orang-orang tersebut berkumpul, mereka dibagi ke dalam beberapa kelompok.
Kemudian, mereka pergi mencari sang putri dengan mengikuti jejak tapak kaki
kuda yang ditunggangi oleh sang putri.
Sementara itu,
Ta Ina Luhu masih berada di puncak gunung. Ketika hari menjelang siang,
tiba-tiba ia mendengar suara orang yang memanggilnya dari jauh. Ia pun sadar
bahwa orang-orang tersebut pastilah para pengawal Raja Soya yang datang
mencarinya. Oleh karena itu, ia segera meninggalkan tempat itu. Tak begitu lama
setelah kepergiannya, sebagian rombongan pengawal Raja Soya yang tiba di tempat
itu tidak menemukan sang putri kecuali kulit jambu bekas sisi-sisa makanan sang
putri. Konon, rombongan itu kemudian menamakan tempat itu “Gunung Nona”.
Ta Ina Luhu
terus memacu kudanya menuruni lereng gunung menuju pantai Amahusu. Karena
begitu kencangnya, topi yang dikenakannya diterbangkan angin. Menurut cerita,
ketika sang putrid hendak berhenti mengambilnya, topi itu tiba-tiba menjelma
menjadi sebuah batu. Batu itu kemudian diberi nama “Batu Capeu”.
Ta Ina Luhu
terus menelusuri pantai Amahusu hingga akhirnya sampai ke Ambon. Tumbuh sang
putri tampak begitu lemah karena lapar dan haus. Demikian pula dengan kuda
tunggangannya. Setelah beberapa jauh berjalan mencari air minum, akhirnya ia
menemukan sebuah mata air. Ta Ina dan Luhu segera meminum air dari mata air
tersebut dengan sepuasnya. Konon, mata air itu dinamakan “Air Putri”.
Setelah sejenak
beristirahat di tempat itu, Ta Ina Luhu berniat untuk kembali ke puncak Gunung
Nona dengan melalui jalan yang berbeda agar tidak bertemu dengan para pengawal
Raja Soya. Namun, ketika hendak beranjak dari tempat itu, ia kembali mendengar
suara orang-orang memanggilnya.
“Putri…,
Putri…, Putri Ta Ina Luhu…! Kembalilah… Baginda Raja Soya sedang menunggumu!”
Ta Ina Luhu pun
segera naik ke atas kudanya hendak melarikan diri. Namun, begitu ia akan memacu
kudanya, tiba-tiba rombongan Raja Soya datang menghadangnya. Dalam keadaan
terdesak, Ta Ina Luhu segera turun dari kudanya seraya berlutut memohon kepada
Tuhan agar rombongan itu tidak membawanya pulang ke istana Soya.
“Oh, Tuhan!
Tolonglah Beta ini! Beta tidak mau kembali ke istana Soya. Beta tidak mau
merepotkan orang lain. Biarkanlah Beta hidup sendirian!” pinta Ta Ina Luhu.
Ketika salah
seorang pengawal akan menarik tangannya, tiba-tiba Ta Ina Luhu menghilang
secara gaib. Rombongan pengawal tersebut tersentak kaget. Mereka hanya
terperangah menyaksikan peristiwa ajaib itu.
Sejak peristiwa
itu, penduduk Ambon sering diganggu oleh sesosok makhluk halus. Jika hujan
turun bersamaan dengan cuaca panas, seringkali ada warga—terutama
anak-anak—yang hilang. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, makhluk halus
yang suka mengambil anak-anak tersebut adalah penjelmaan dari Ta Ina Luhu.
Sejak itu pula, Ta Ina Luhu dipanggil dengan sebutan Nenek Luhu. Hanya saja,
hingga saat ini tak seorang pun yang tahu mengapa Nenek Luhu suka mengganggu
penduduk Ambon, terutama anak-anak.
Bulu Pamali
Alkisah, di
sebuah daerah di Maluku, ada seorang anak laki-laki yatim piatu bernama
Yongker. Sebenarnya, anak sebatang kara itu berasal dari daerah Manipa. Namun,
sejak kedua orang tuanya meninggal dunia, ia kemudian pindah dan menetap di
Benteng. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, setiap hari Yongker mencari kayu
bakar di hutan untuk dijual ke pasar atau ditukar dengan barang lain yang ia
perlukan.
Suatu pagi yang
cerah, Yongker mendayung perahunya menuju Pantai Latulahat untuk mencari kayu
bakar di gunung yang ada di sekitar pantai itu. Gunung itu dihampari oleh hutan
belantara. Tidak lupa ia membawa bekal makanan secukupnya karena daerah itu
cukup jauh dari tempat tinggalnya.
Setiba di
Tanjung Latulahat, Dusun Waimahu, Yongker menambatkan perahunya di akar sebuah
pohon yang tumbuh di pinggir pantai. Sambil membawa bekalnya, ia berjalan
mendaki gunung itu. Setiba di puncak, Yongker mulai bekerja. Ia tidak hanya
mengumpulkan ranting kayu kering, tetapi juga memotong dahan-dahan kayu yang
masih melekat di pohon. Dahan kayu yang masih basah itu tetap dibiarkan di tempat
itu hingga beberapa hari dan baru dibawa pulang setelah kering. Lama-kelamaan,
pepohonan di hutan itu menjadi tidak rindang karena semua dahannya telah habis
dipangkasnya.
Saat hari
menjelang siang, Yongker beristirahat sejenak untuk melepaskan lelah sambil
menyantap bekal makanan yang dibawanya. Setelah matahari terbenam, ia kembali
melanjutkan pekerjaannya. Tak terasa, hari sudah mulai gelap. Yongker segera
membereskan kayu-kayu bakar yang telah dikumpulkannya untuk bergegas pulang.
Namun, baru saja ia menuruni lembah gunung itu, waktu sudah keburu malam.
“Ah, sebaiknya
aku menginap di sini saja,” gumam Yongker seraya mencari tempat yang aman untuk
beristirahat.
Untung malam
itu bulan purnama sedang memancarkan cahayanya yang terang sehingga Yongker dapat
melihat keadaan di sekitarnya dengan cukup jelas. Tak berapa lama kemudian, ia
menemukan sebuah tanah lapang yang bersih. Tanah lapang itu ditumbuhi oleh
rerumputan yang hijau. Dengan perasaan senang, Yongker pun segera merebahkan
tubuhnya di atas rerumputan itu. Tubuhnya terasa amat lelah dan mengantuk,
namun hingga larut malam, ia sulit memejamkan mata karena banyak nyamuk yang
mengganggunya.
Ketika Yongker
sedang sibuk mengusir binatang-binatang pengisap darah yang hinggap di kakinya
itu, seekor ular raksasa datang menelannya, dan memuntahkannya kembali sesaat
kemudian. Tak ayal, ia pun terpelanting ke tanah hingga tak sadarkan diri.
Begitu sadar, tiba-tiba ia mendengar suara bergemuruh seolah-olah bumi
terbelah. Yongker menjadi ketakutan dan bulu romanya merinding. Pada saat yang
bersamaan, seorang laki-laki tua yang bertubuh tinggi dan besar telah berdiri
di depannya.
“Hai, anak
muda! Siapa namamu dan dari mana asalmu?” tanya lelaki tua itu.
“Sa... saya
Yongker dari Manipa, tapi tinggal di Benteng,” jawab Yongker dengan gugup.
“Mengapa kamu
masuk ke tempatku dan merusak hutan yang ada di daerahku?” lelaki tua itu
kembali bertanya.
Yongker semakin
ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar seraya bersujud memohon ampun kepada lelaki
tua itu.
“Ampunilah
saya, Kek! Saya ini anak sebatang kara. Saya tidak punya siapa-siapa lagi di
dunia ini. Untuk bisa tertahan hidup, saya hanya mencari kayu bakar untuk saya
jual ke pasar,” ungkap Yongker mengiba.
Lelaki tua itu
pun terketuk hatinya setelah mendengar pengakuan Yongker.
“Wahai, anak
muda. Apapun yang kamu minta dariku, pasti kukabulkan,” ujar lelaki tua itu.
“Maaf, Kek.
Saya tidak akan meminta apa-apa kepada Kakek. Tapi, apapun yang Kakek berikan
akan saya terima dengan senang hati,” jawab Yongker.
“Baiklah, kalau
begitu. Sekarang pejamkanlah matamu!” seru sang kakek seraya mengambil sepotong
bulu yang secara tiba-tiba tumbuh tidak jauh di belakang Yongker.
Dengan
kesaktiannya, kakek itu menusukkan bulu itu di kepala Yongker hingga
tembus ke kaki dan segera mencabutnya kembali. Ajaibnya, anak yatim piatu itu
tidak merasakan sakit sedikit pun di tubuhnya. Setelah bulu itu tercabut
dari tubuhnya, kakek itu menyuruhnya untuk kembali membuka mata.
“Bukalah matamu
pelan-pelan, Cucuku!” ujar si kakek.
Begitu matanya
terbuka, Yongker merasa tubuhnya mendapat tambahan tenaga yang luar biasa.
“Apa yang
terjadi dengan tubuhku, Kek? Kenapa tubuhku terasa jadi ringan dan penuh
tenaga?” tanya anak yatim piatu itu dengan heran.
Kakek itu hanya
tersenyum, lalu menceritakan apa yang baru saja dilakukannya terhadap tubuh
Yongker.
“Ketahuilah,
Cucuku! Aku telah memberimu ilmu kekebalan tubuh. Ilmu itu tidak hanya membuat
tubuhmu kebal terhadap segala macam senjata tajam, benda tumpul, atau pun
tangan kosong, tetapi juga memiliki kekuatan yang mahadahsyat untuk membela
diri,” ujar kakek itu.
Kakek itu
lantas berpesan kepada Yongker agar tetap menggunakan ilmu itu untuk kebaikan.
“Gunakanlah
ilmu itu untuk menjaga diri dari binatang buas dan orang-orang jahat! Tapi,
ingatlah, jangan sekali-kali kau menggunakannya untuk kejahatan!”
“Baik Kek,
terima kasih,” ucap Yongker, “Saya berjanji akan selalu memegang teguh pesan
Kakek.”
Setelah berkata
demikian, Yongker menoleh ke pohon bulu di belakangnya. Ia melihat bulu
itu masih terlihat berdiri dengan tegak. Pada saat itu pula, ia melihat
tujuh helai daun bulu itu terlepas dari tangkainya. Ketujuh helai daun
bulu itu kemudian berterbangan ditiup angin hingga jatuh ke tengah-tengah laut.
Alangkah terkejutnya Yongker ketika tiba-tiba melihat ada tujuh pulau kecil
yang muncul di tempat daun itu terjatuh. Kini, pulau-pulau tersebut disebut
dengan Pulau Tujuh.
Setelah
menyaksikan peristiwa ajaib itu, Yongker kembali menoleh ke pohon bulu
itu. Anak itu pun terheran-heran karena pohon bulu itu sudah tidak ada
di tempatnya. Belum hilang keheranannya, kakek yang telah menolongnya juga pun
hilang bersamaan dengan menghilangnya pohon bulu tersebut.
Pada esok hari,
cepat-cepat Yongker kembali ke perkampungan dan menceritakan semua peristiwa
yang dialaminya. Sejak itulah, anak yatim piatu itu terkenal dengan ilmu
kekebalan yang dimilikinya. Sesuai pesan kakek, Yongker senantiasa menggunakan
ilmunya untuk menjaga diri dan menolong orang lain dari gangguan orang-orang
jahat. Oleh penduduk Dusun Waimahu, Latulahat, tempat Yongker beristirahat yang
hingga kini masih terlihat bersih itu dianggap sebagai tempat keramat.
Sementara itu, pohon bulu yang dilihat Yongker disebut dengan nama Bulu
Pamali karena tumbuh dan hilang secara misterius. Menurut kepercayaan
masyarakat setempat, pohon bulu itu sewaktu-waktu muncul, namun hanya
orang-orang yang mempunyai petuanan di daerah tersebut yang bisa melihatnya.
Legenda Tanifal Di Pulau
Buru
Alkisah, di
Pulau Buru, Maluku, tersebutlah sebuah negeri bernama Tifu. Tidak jauh dari
negeri ini terdapat sebuah gunung bernama Gunung Garuda. Bila dipandang dari
pantai Tifu, gunung itu tampak berwarna kemerah-merahan. Di lereng gunung itu
terdapat dua buah liang batu yang letaknya agak berjauhan. Kedua liang batu
tersebut masing-masing dihuni oleh seekor burung elang jantan dan seekor elang
betina. Kedua burung elang tersebut merupakan burung elang terbesar di Pulau
Buru. Jika burung elang raksasa ini sedang mengembangkan sayapnya di angkasa,
hampir sebagian Negeri Tifu menjadi gelap akibat tertutupi bayangannya.
Burung elang
rakasa tersebut termasuk burung paling ganas di antara burung pemangsa lainnya.
Kukunya sangat runcing untuk menerkam dan mencengkram mangsa, serta memiliki
keterampilan dan kecepatan yang tinggi dalam melumpuhkan mangsa. Burung elang
rakasa itu juga memiliki bulu yang rapat dan tungkai yang bersisik tebal untuk
melindungi tubuhnya dari sengatan binatang yang dimangsanya. Keistimewaan lain
yang dimiliki burung ini adalah kepala dan matanya besar serta daya
penglihatannya sangat tajam untuk memburu mangsa dari jarak jauh sehingga tak
satu pun mangsa yang bisa lolos dari pengamatannya. Burung elang rakasa itu
juga memiliki kecepatan untuk terbang melayang tinggi ke angkasa. Ia juga
mempunyai sistem pernafasan yang baik dan mampu membekali dirinya dengan
oksigen yang banyak sehingga dapat terbang sepanjang hari di angkasa.
Sepasang burung
elang tersebut biasanya terbang mencari mangsa pada siang hari, sedangkan pada
malam hari mereka beristirahat di sarangnya masing-masing Burung elang betina
lebih giat mencari mangsa dibandingkan dengan burung elang jantan. Jenis
binatang yang biasa menjadi sasarannya adalah hewan mamalia kecil seperti
tikus, tupai, dan ayam. Terkadang pula ikan dan udang menjadi mangsanya. Jika
mereka tidak mendapat mangsa binatang atau hewan, manusia pun bisa menjadi
sasarannya. Meski demikian, mereka tidak mau memangsa manusia yang berada di
sekitar tempat tinggalnya. Oleh karena itu, mereka selalu terbang jauh untuk
mencari mangsa.
Kedua burung
elang rakasa tersebut, terutama si elang betina, sering mengincar penumpang
kapal yang melintas di perairan sekitar Pulau Buru. Jika melihat ada kapal yang
melintas, elang betina dengan cepat terbang menuju ke kapal tersebut untuk
menangkap para penumpangnya dan membawa mereka ke sarangnya. Sebagian mangsa
tersebut langsung disantap dan sebagian yang lain disimpan selama beberapa hari
sambil menunggu kedatangan kapal berikutnya. Manusia yang sering menjadi
korbannya adalah pelaut-pelaut Cina yang melintas di daerah itu.
Berita tentang
keganasan burung elang itu pun tersebar ke seluruh penjuru Negeri Cina.
Sekelompok nelayan yang mendengar berita tersebut bermaksud untuk menumpas
keganasan kedua burung elang raksasa tersebut. Mereka akan menghadapi kedua
elang itu dengan besi runcing atau tombak besi sepanjang tiga meter. Saat
berada di perairan Tifu, mereka akan memanaskan ujung besi runcing itu hingga
merah membara sebelum menusukkannya ke tubuh burung elang tersebut.
Setelah
semuanya siap, berangkatlah rombongan nelayan Cina itu ke perairan Tifu dengan
menggunakan kapal. Setelah berhari-hari berlayar, akhirnya mereka pun tiba di
perairan Buru Selatan. Nahkoda kapal segera memerintahkan seluruh awak kapal
yang jumlahnya puluhan lebih untuk bersiaga.
“Pasukan,
siapkan senjata kalian!” seru sang nahkoda kapal, “Sebentar lagi burung elang
raksasa itu datang untuk menangkap kita.”
“Baik, Tuan,”
jawab seluruh awak kapal serentak.
Para awak kapal
segera mengambil senjata masing-masing lalu berkumpul di geladak kapal sambil
memanaskan ujung tombak besi mereka. Tak berapa lama kemudian, ujung tombak
besi itu berubah menjadi merah membara dan siap untuk digunakan. Bersamaan
dengan itu, kedua burung elang rakasa itu pun datang untuk memangsa mereka.
Namun, sebelum keduanya mencengkramkan cakar-cakarnya yang tajam ke tubuh
mereka, para awak kapal segera menancapkan tombak besinya ke tubuh kedua burung
elang tersebut. Tak ayal, sepasang burung elang raksasa itu langsung mengerang
kesakitan.
“Koaaak…
Koaaak… Koaaak…!!!”
Meskipun
terluka parah dengan tombak besi menancap hampir di seluruh tubuhnya, kedua
burung elang raksasa itu berusaha terbang ke sarangnya dengan sisa-sisa tenaga
yang dimiliki. Namun belum sampai di sarangnya, mereka telah kehabisan darah
hingga akhirnya jatuh dan tewas di pantai Tifa. Setelah memastikan keduanya
telah mati, rombongan pelaut Cina tersebut segera meninggalkan itu dan kembali
ke negerinya.
Sementara itu,
bangkai kedua burung elang raksasa itu dibiarkan tergeletak di pantai Tifu.
Lama-kelamaan bangkai itu kemudian berubah menjadi Tanifal, yaitu
sebidang daratan berpasir putih dan halus. Tanifal itu dikelilingi oleh
air laut dan hanya tampak ketika air laut sedang surut.
Menurut cerita
masyarakat setempat, kedua bola dari salah satu dari burung elang itu terlepas
dan kemudian berubah menjadi dua buah batu besar. Lama-kelamaan, kedua batu
besar yang ditumbuhi rerumputan itu membentuk dua pulau kecil yang indah.
Hingga saat ini
masyarakat setempat juga mempercayai bahwa di daerah tersebut masih terdapat
burung goheba atau burung elang yang dianggap sebagai keturunan dari
kedua burung elang raksasa itu. Bahkan, burung goheba itu menjadi salah
satu tanda bagi para nelayan untuk mengetahui tempat berkumpulnya kawanan ikan
di suatu tempat. Jika goheba itu beterbangan dan mondar-mandir
mengelilingi Negeri Tifu atau Pulau Buru sambil berbunyi “Koaaak… Koaaak…”
maka hal itu merupakan pertanda bahwa di tempat itu terdapat kawanan ikan yang
sedang berkumpul.
Petualangan Empat Kapiten Dari Maluku
Dahulu, Negeri Nunusaku atau lebih dikenal Negeri Nusa
Ina merupakan pusat kegiatan penduduk yang mendiami Pulau Seram, Maluku. Negeri
itu dipimpin oleh empat kapiten yaitu Kapitan Wattimena, Kapitan Wattimury,
Kapitan Nanlohy, dan Kapitan Talakua. Keempat kapiten tersebut mempunyai
wilayah kekuasaan masing-masing sehingga penduduk mereka tersebar di berbagai
daerah di pulau tersebut. Meskipun demikian, mereka senantiasa saling membantu
dan bekerjasama dalam berbagai hal. Mereka juga suka berpetualang hingga ke
daerah pelosok secara bersama-sama.
Suatu hari, kempat kapiten tersebut bermaksud
mengadakan petualangan yaitu menyusuri Sungai Tala. Segala keperluan seperti
bekal makanan dan minuman segera mereka siapkan. Setelah itu, berangkatlah
mereka ke daerah Watui yang terletak di tepi sungai. Di sana, mereka membuat gusepa
(rakit) yang terbuat dari batang dan bilah-bilah bambu. Gusepa itulah
yang akan mereka gunakan untuk mengarungi Sungai Tala menuju ke hilir.
Sebelum berangkat, keempat kapiten tersebut berbagi
tugas. Kapitan Wattimena ditunjuk sebagai pemimpin, Kapitan Wattimury bertugas
sebagai pengemudi, Kapitan Nanlohy ditunjuk sebagai penjaga harta milik mereka
dan duduk di tengah gusepa, sedangkan Kapitan Talakua duduk bagian
belakang sebelah kanan. Menurut adat, Kapitan Nanlohy adalah seorang
Kepala Dati yang berhak menentukan pembagian harta milik pribadi maupun milik
bersama. Itulah sebabnya, semua harta dan perbekalan diletakkan di dekatnya.
Dalam petualangan kali ini, Kapitan Wattimena juga membawa burung nuri
kesayangannya dan sebuah pinang putih yang disimpan dalam tempat sirih pinang.
Setelah persiapan selesai, gusepa pun siap
meluncur. Perlahan-lahan, Kapitan Wattimury mengarahkan gusepa ke tengah
sungai dengan menggunakan galah dari bambu panjang. Begitu tiba di tengah
sungai, gusepa itu pun meluncur dengan cepat terbawa arus sungai yang
sangat deras. Ketika keempat kapiten tersebut tiba di sebuah tempat bernama
Batu Pamali, gusepa yang mereka tumpangi kandas dan hampir terbalik.
Mereka pun panik. Kapitan Wattimena yang terkejut kemudian berteriak dan
menyerukan kepada Kapitan Talakua yang berada di belakang.
“Talakuang!” serunya. Kata tersebut artinya
“tikam dan tahan gusepa!” Konon, Kapitan Talakua yang mendapat perintah
itu kemudian menjadi nenek moyang masyarakat Maluku dengan memakai mata
rumah atau marga Talakua di Negeri Portho. Sementara
itu, pada saat yang bersamaan, Kapitan Wattimena segera membuka tempat sirih
pinangnya. Namun, tempat sirih pinang itu tiba-tiba terjatuh dan burung nurinya
pun terbang entah ke mana. Kejadian itu benar-benar membuat hati Kapitan
Wattimena kecewa dan mengucapkan sumpah.
“Aku bersumpah, seluruh keturunan marga Wattimena dan
para menantu tidak boleh memelihara burung nuri dan memakan sirih pinang!” ucap
Kapitan Wattimena.
Setelah itu, keempat kapiten tersebut melanjutkan
perjalanan menuju daerah Tala. Setiba di sana, mereka kemudian membuat batu
perjanjian yang dinamakan Manuhurui. Mereka berikrar bahwa jika suatu saat
nanti mereka berpisah atau tercerai-berai, hubungan persaudaraan harus tetap
berbina. Mereka harus tolong-menolong dalam segala hal dan selalu saling
mengunjungi satu sama lain.
Keempat Kapiten tersebut tampaknya sudah mulai
kelelahan sehingga mereka pun memutuskan untuk beristirahat beberapa hari.
Suatu ketika, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury sedang istirahat di
darat, sedangkan Kapitan Nanholy dan Kapitan Talakua berisitirahat di atas gusepa.
Tanpa disadari, gusepa itu hanyut terbawa arus. Keduanya pun panik dan
berteriak meminta tolong.
“Tolong… Tolong…!” seru Kapitan Nanlohy meneriaki
kedua saudaranya yang sedang tidur di darat. Mendengar teriakan itu, Kapitan
Wattimena dan Kapitan Wattimury terbangun. Alangkah terkejutnya mereka saat
melihat kedua saudara mereka hanyut terbawa arus. Mereka hendak menolong, namun
kedua saudara mereka sudah jauh terbawa arus hingga ke tengah laut. Kapitan
Nanholy berusaha berenang ke daratan dan terdampar ke sebuah tempat. Tempat itu
kemudian diberi nama Nanuhulu yang berarti “berenang dan terdampar di hulu”.
Sejak itu, Kapitan Nanholy menetap di daerah tersebut. Sementara itu, Kapitan
Talakua terus hanyut hingga melewati Tanjung Uneputty dan terdampar di Teluk
Pulau Saparua. Di situ, ia membangun negeri yang diberi nama Portho.
Sementara itu di tempat lain, Kapitan Wattimena dan
Kapitan Wattimury tetap mendiami daerah Manuhurui di Kampung Sanuhu. Keduanya
pun hidup saling tolong-menolong dan menyayangi. Suatu ketika, mereka mendengar
kabar bahwa kampung mereka akan diserang musuh yang datang dari kampung
sebelah.
“Apa yang harus kita lakukan, Wattimena?” tanya
Kapitan Wattimury bingung.
“Kita harus segera meninggalkan kampung ini dan
mencari tempat persembunyian yang aman,” kata Kapitan Wattimena,
Kapitan Wattimury pun menyetujui keputusan itu.
Akhirnya, kedua orang bersaudara itu bersembunyi di suatu tempat yang aman dari
kejaran musuh. Namun sayang, tempat gersang dan tandus sehingga air sulit
didapatkan. Kapitan Wattimury kembali dilanda kebingungan.
“Bagaimana kita bisa hidup di tempat ini? Air untuk
diminum saja susah,” keluh Kapitan Wattimury.
Kapitan Wattimena tidak menjawab. Ia langsung
mengambil sebuah tombak lalu ditancapkan ke tanah. Seketika, air pun menyembur
keluar dengan sangat deras. Akhirnya, keduanya pun dapat minum air sampai
kenyang. Tempat itu kemudian mereka beri nama Hule yang berarti kekenyangan.
Mereka pun menetap di daerah itu, namun tidak beberapa lama. Mereka bersepakat
untuk membuka daerah baru di tempat lain.
Kedua kapiten itu kemudian melanjutkan perjalanan
menyusuri daerah Seram Selatan hingga ke bagian timur daerah Boboth. Namun,
hingga malam hari, mereka belum juga menemukan tempat yang cocok. Pada malam
yang gelap gulita itu, keduanya tetap melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba,
Kapiten Wattimena mengentikan langkahnya.
“Hai, kenapa berhenti, Wattimena?” tanya Kapiten
Wattimury heran.
“Kita beristirahat sejenak di sini,” ujar Kapitan
Wattimena, “Sudah jauh kita berjalan tapi tidak ada tempat yang cocok untuk
dijadikan tempat menetap.”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Kapitan
Wattimury bingung.
“Sebaiknya kita buat lobe (obor). Tempat di
mana obor ini nanti padam, maka di situlah kita menetap,” ujar Kapitan
Wattimena.
Setelah menyalakan obor, keduanya pun melanjutkan
perjalanan. Ketika obor itu padam, keduanya pun berhenti dan menjadi tempat itu
sebagai tempat tinggal mereka. Tempat itu kemudian mereka beri nama Japisuru
atau Api Lobe dan kini nama tempat itu telah berganti menjadi Mahariki.
Selang beberapa waktu tinggal di daerah itu, Kapiten
Wattimury bermaksud untuk pindah ke daerah lain.
“Saudaraku, perkenankanlah aku untuk mencari daerah
lain untuk membangun negeri sendiri,” pinta Kapiten Wattimury.
“Baiklah, kalau itu keinginanmu. Tapi, jangan lupa
dengan ikrar yang pernah kita ucapkan dulu bahwa kita akan saling mengunjungi,”
ujar Kapitan Wattimena.
“Tentu, Wattimena,” jawab Kapitan Wattimena.
Akhirnya, Kapitan Wattimury menuju ke sebuah tempat
yang jaraknya kurang lebih tujuh kilometer dari dari Mahariki. Ia pun menamai
tempat itu dengan nama Amahai. Kini, nama tempat itu telah berubah menjadi
Ruta.
Batu Berdaun
Alkisah, di
daerah pesisir Maluku, hiduplah seorang nenek dengan dua orang cucunya yang
masih kecil. Cucu yang pertama berumur 11 tahun, sedangkan yang bungsu masih
berumur 5 tahun. Kedua anak itu yatim piatu karena orangtua mereka telah
meninggal dunia ketika mencari ikan di laut. Kini, kedua anak itu berada dalam
asuhan sang nenek.
Untuk memenuhi
kebutuhan hidup, nenek bekerja mengumpulkan hasil hutan dan mencari ikan di
pantai. Hasilnya tidak pernah cukup untuk mereka makan. Untunglah para tetangga
sering berbaik hati memberikan makanan kepada sang nenek untuk dimakan bersama
kedua cucunya.
Suatu hari, air
laut terlihat surut, ombaknya pun tampak tenang. Kondisi seperti ini biasanya
menjadi pertanda bahwa banyak kepiting yang terdampar di sekitar pantai. Si
nenek pun mengajak kedua cucunya ke pantai untuk menangkap kepiting.
“Cucuku, mari
kita ke pantai mencari kepiting,” ajak si nenek.
Alangkah
senangnya hati kedua anak itu, terutama si bungsu. Ia berlari-lari dan melompat
kegirangan.
“Horeee... horeee...
!” riang si bungsu.
Setiba di
pantai, mereka pun mulai memasang beberapa bubu (alat untuk menangkap
kepiting) di sejumlah tempat. Selang beberapa lama kemudian, sebuah bubu
yang dipasang nenek memperoleh seekor kepiting besar yang terperangkap di dalamnya.
Si nenek pun menyuruh kedua cucunya untuk pulang terlebih dahulu.
“Cucuku, kalian
pulanglah dulu. Bawa dan rebuslah kepiting besar itu untuk makan siang kita
nanti,” ujar si nenek, “Capitannya sisakan untuk nenek.”
“Baik, Nek,”
jawab cucu yang pertama.
Kedua anak itu
pun kembali ke rumah dengan perasaan gembira. Hari itu, mereka akan menikmati
makanan lezat. Setiba di rumah, kepiting besar hasil tangkapan mereka tadi
segera direbus. Setelah masak, kepiting itu mereka makan bersama ubi rebus.
Mereka makan dengan lahap sekali. Sesuai perintah sang nenek, kedua anak itu
menyisakan capit kepiting.
Usai makan,
kedua anak itu pergi bermain hingga hari menjelang siang. Saat mereka pulang ke
rumah, nenek mereka ternyata belum juga kembali dari pantai. Sementara itu, si
bungsu yang baru sampai di rumah tiba-tiba merasa lapar lagi.
“Kak, aku
lapar. Aku mau makan lagi,” rengek si bungsu kepada kakaknya.
“Bukankah tadi
kamu sudah makan? Kenapa minta makan lagi?” tanya kakaknya.
“Aku lapar
lagi. Aku mau makan capit kepiting,” si bungsu kembali merengek.
“Jangan, capit
kepiting itu untuk nenek,” cegah si kakak.
Meskipun sang
kakak sudah berkali-kali menasehatinya, si bungsu tetap saja merengek. Karena
iba, sang kakak terpaksa mengambil sepotong capit kepiting itu. Si bungsu
akhirnya berhenti merengek. Namun, setelah makan, ia kembali meminta capit
kepiting yang satunya. Si kakak pun memberikannya.
Tak berapa lama
kemudian, nenek mereka kembali dari pantai. Wajah si nenek yang sudah keriput
itu tampak pucat. Kelihatannya ia sangat lapar. Cepat-cepatlah ia masuk ke
dapur ingin menyantap capit kepiting bersama ubi rebus. Betapa terkejutnya ia
saat melihat lemari makannya kosong.
“Cucuku.,
cucuku...!” teriaknya dengan suara serak.
“Iya, Nek,”
jawab si sulung seraya menghampiri neneknya, “Ada apa, Nek?”
“Mana capit
kepiting yang nenek pesan tadi?” tanya si nenek.
“Ma... maaf...,
Nek!” jawab si sulung dengan gugup, “Capit kepitingnya dihabiskan si Bungsu.
Aku sudah berusaha menasehatinya, tapi dia terus menangis meminta capit
kepiting itu.”
Betapa
kecewanya hati sang nenek mendengar jawaban itu. Ia benar-benar marah karena
kedua cucunya tidak menghiraukan pesannya. Tanpa berkata-kata apapun, si nenek
pergi meninggalkan rumah. Dengan perasaan sedih, ia berjalan menuju ke sebuah
bukit. Sesampai di puncak bukit itu, ia lalu mendekati sebuah batu besar yang
bentuknya seperti daun. Orang-orang menyebutnya batu berdaun. Di hadapan batu
itu, si nenek duduk bersimpuh sambil meneteskan air mata.
“Wahai, batu.
Telanlah aku!” seru nenek itu, “Tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini.
Kedua cucuku tidak mau mendengar nasehatku lagi.”
Batu berdaun
itu tidak bergerak sedikit pun. Ketika nenek mengucapkan permintaannya untuk
ketiga kalinya, barulah batu itu membuka mulutnya.
Dengan sekali
sedot, si nenek langsung tertarik masuk ke dalam perut batu itu. Setelah si
nenek tertelan, mulut batu itu mengatup kembali. Sejak itulah, si nenek tinggal
di dalam perut batu itu dan tidak pernah keluar lagi.
Sementara itu,
kedua cucunya dengan gelisah mencari nenek mereka. Saat tiba di puncak bukit
itu, mereka hanya mendapati kain milik nenek mereka terurai sedikit di antara
batu berdaun itu.
“Nenek, jangan
tinggalkan kami!” tangis si sulung.
“Maafkan aku,
Nek. Aku berjanji tidak akan mengecewakan nenek lagi,” ucap si bungsu dengan
sangat menyesal.
Si sulung
kemudian meminta kepada batu berdaun itu agar menelan mereka.
“Wahai, batu
berdaun. Telanlah kami!” seru si sulung.
Meskipun kedua
anak tersebut berkali-kali memohon, batu berdaun itu tetap tidak mau membuka
mulutnya, sampai akhirnya kedua anak itu tertidur di dekatnya. Keesokan
harinya, keduanya terbangun dan kembali meratapi kepergian sang nenek. Pada
saat itu, kebetulan ada seorang tetangga mereka yang melintas di tempat itu.
“Hai, kenapa
kalian ada di sini?” tanyanya saat melihat kedua anak itu.
Si sulung pun
menceritakan semua yang telah terjadi pada neneknya. Oleh karena nenek itu
tidak akan kembali lagi, si tetangga pun mengajak kedua anak tersebut pulang ke
rumahnya dan kemudian merawat mereka. Kedua anak itu merasa sangat menyesal
atas perlakuannya terhadap nenek mereka. Namun, hal itu mereka jadikan sebagai
pelajaran berharga sehingga kedua anak itu pun tumbuh menjadi manusia yang
berbudi luhur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar